Selamat Datang di Portal Pendidikan

AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH SEBAGAI SISTEM NILAI DAN TRADISI NU

Oleh : DR. H. Hamdani Mu,in, M. Ag *

A Mukaddimah

Sebagai organisasi sosial keagamaan yang dibentuk oleh kalangan ulama tradisional, NU selalu diidentikkan dengan Islam tradisional yang pada umumnya dianggap lebih terbelakang dan cenderung mapan dalam pemahaman mengenai masyarakat maupun pemikiran Islam. Dalam tradisi pemikiran Islam, keteguhan NU dalam memegang hukum Islam ortodoks dan ketatnya mengikuti teologi skolastisismenya al-Asy’ari dan al-Maturidi dianggap menjadikan NU jumud dan menolak modernisme dan pendekatan rasional dalam pemikiran keagamaan dan berpandangan fatalistik.[1] Karenanya, NU dianggap berpandangan konservatif yang menolak segala perubahan atau modernisme.[2] Bahkan Geert menggolongkannya sebagai Islam “kolotan” karena penerimannya terhadap elemen-elemen sinkretis yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.[3] Terutama dalam ajaran taswufnya yang dianggapnya seringkali tergelincir ke dalam praktek-praktek syirik karena menghubung-hubungkan Tuhan dengan makhluk-makhluk atau benda- benda. [4]
Pernyataan di atas agaknya perlu dikritisi, karena di samping tradisi pemikiran Islam yang dikembangkan NU tidak seperti yang disebutkan di atas, juga anggapan bahwa NU adalah koservatif, kolot dan tradisional karena diidentikkan dengan Islam tradisional perlu dibuktikan kembali, di samping jelas pernyataan tersebut bernada kurang obyektif. Karena tidak jelas apa yang dimaksudkan dalam pernyataan-pernyataan itu.
Pada dasarnya pengertian tradisi tidak selalu berkonotasi negatif. Menurut Edward Shills, seperti dikutip oleh Sahal Mahfudz, terminologi tradisi berarti sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan masa lalu, atau dengan kata lain, segala sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Namun pengertian tersebut masih belum cukup untuk suatu analisis, karena belum terungkapnya segala sesuatu yang kaitannya dengan pengertian tradisi ; apa yang diwariskan itu dan bagaimana penyampaiannnya serta sudah berapa lama ‘tradisi ‘ tersebut diwarisi. Dalam pengertian lain, seperti dalam The New Encylopaedia Britannica, tradisi adalah kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan serta berbagai praktek yang menyebabkan kelestarian suatu kebudayaan atau kelompok sosial, yang oleh karena itu ia mampu membentuk pandangan hidupnya. [5] Oleh karena itu term tradisi mengisyaratkan sesuatu yang sakral dan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung, prinsip-prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi, ruang dan waktu. [6]
Sementara itu pemahaman Islam tradisional juga tidak berarti Islam yang sarat dengan khurafat, tahayul dan bid’ah, atau dengan kata lain Islam yang mengadopsi budaya-budaya lokal yang tidak bersumber dari al-Qurān dan al-Hadis. Tetapi Islam tradisional, seperti dalam pandangan Seyyed Hosein Nasr, adalah Islam yang konsekuen dan komitmen dengan ajaran Islam yang asli. Karena Islam tradisional menerima al-Qurān dan al-Hadis sebagai dua sumber yang diyakini kebenarannya dan mutlak kebenarannya. Demikian pula Islam Tradisional mempertahankan syari’ah sebagai hukum Ilahi, sebagaimana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan sebagaimana ia dikristalkan dalam mazhab-mazhab klasik hukum. Namun demikian, Islam tradisional menerima kemungkinan pandangan-pandangan segar berdasarkan prinsip-prinsip legal (ijtihad), dan juga memanfaatkan alat-alat penerapan hukum lain ke dalam situasi-situasi yang baru muncul namun selalu selaras dengan prinsip-prisip legal tradisional seperti qiyas, ijma’ dan istihsan. Dengan kata lain, dalam Islam tradisional seluruh moralitas diturunkan dari al-Qurān, al-Hadis dan dalam tatanan dan aturan syari’ah benar. [7]
Dalam konteks ini, NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki tradisi dan sistem nilai yang dianut dan dipegang kuat serta diyakini kebenarannya. Karena itu, sistem nilai inilah pada dasarnya yang membentuk karakter dan identitas tersendiri bagi NU.
Adapun sistem nilai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip ajaran, tuntunan atau haluan bagi praktek-praktek keagamaan maupun sosial kemasyarakatan yang berlaku di lingkungan NU dan dipandang dari sudut dogmatis. [8] Dalam hal ini, paham Ahlussunnah wa al-Jamā’ah dengan segala ajaran-ajarannya menjadi sistem nilai yang menjadi acuan dasar serta pandangan yang bersifat ideologis bagi NU.

B. Faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
1. ASWAJA ; sejarah dan pertumbuhannya.
Jika dilihat dari latar belakang lahirnya, maka faham ASWAJA merupakan jalan tengah di antara aliran-aliran teologi yang berkembang saat itu. Kecenderungan yang berlebihan dalam menggunakan akal dan kebebasan perbuatan manusia (free will dan free act) serta sikap fatalism atau predesnation telah mengantarkan umat manusia pada kekerasan dan penindasan di satu sisi, dan kemunduran dan ketidak- berdayaan terhadap realitas kehidupan di sisi lain. Kondisi demikian akan semakin parah ketika perbedaan faham di atas dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Akibatnya berbagai fitnah menyebar dan korban berjatuhan atas nama “agama”.
Dalam konteks itulah, ASWAJA berusaha mengembalikan kemurnian agama Islam dan berupaya mempersatukan kembali umat Islam yang tercerai berai. Melalui konsep sunnahnya, ASWAJA mengidentikkan diri sebagai ajaran yang mengikuti dan mengamalkan Hadis Nabi Muhammad SAW. Al Sam’ani (w. 1166) mengidentikkan al-sunnah sebagai lawan dari bid’ah (penyimpangan) yang terjadi dan marak di mana-mana.[9] Sedangkan Jalal Muhammad Musa mengartikan sunnah yang dimaksud dengan metode atau thariqah, yaitu mengikuti metode para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada Allah sendiri, tidak mereka-reka menurut daya nalar manusia semata-mata.[10]
Adapun konsep jamā’ah yang dimaksud dalam ASWAJA adalah memiliki beberapa pengertian. Dalam hal ini al-Syathibi menyebutkan lima definisi, pertama, mayoritas kaum muslimin (al-aswad al ‘azam). Kedua, para ulama mujtahid. Ketiga, para sahabat Nabi. Keempat, kesepakatan orang Islam. Dan kelima, golongan kaum muslimin dengan satu pemimipin. [11]
Dalam sejarah Islam, jauh sebelum munculnya Al-Asy’ari dengan konsep ASWAJA nya, telah terjadi pergolakan besar yang terjadi pada permulaan Islam, sebuah pertikaian antar kaum muslimin yang menjadi titik sejarah munculnya kelompok-kelompok kaum muslimin, dua orang sahabat Nabi SAW; Abdullah bin Abbas (w. 67 H) dan Abdullah bin Umar (w. 74), mengungkapkan sikap tentang perlunya mengembangkan solidaritas dan persatuan umat. Keduanya dengan serius mulai melakukan kajian-kajian terhadap al-Sunnah sebagai jalan memahami agama dengan benar dan mendalam. Pandangan-pandangan kedua tokoh tersebut di kemudian hari akan menjadi corak pemikiran ASWAJA. [12]
Sikap moderat kedua tokoh di atas selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar Hasan al-Basri (642 M/ 21 H). Bahkan dia lah orang yang pertama memformulasikan solusi sunni mengenai krisis pada tahun 656-661, khususnya semangatnya yang berkewajiban untuk tidak memecah belah umat dan penerimaannya terhadap Khulafaurrasyidin dan Bani Umayah sebagai pemerintah yang sah. [13]
Pada perkembangan sejarah pemikiran Islam berikutnya, term Ahlusunnah wa al- Jama’ah, menjadi lebih popular setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/ 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 994 M), mengajukan gagasan kalamnya sebagai antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah yang sebelumnya mengalami masa-masa kejayaan, terutama di zaman khalifah-khalifah Bani ‘Abbas al Ma’mun dan al Wasiq (813 M-847 M ), dan mencapai puncaknya ketika Khalifah al Ma’mun di tahun 827 M menjadikan faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang di anut negara. [14]
Namun pada tahun 1063 M, di mana Perdana Menteri Dinasti dipegang oleh Nizam al-Mulk, pemikiran-pemikiran ASWAJA mendapat tempat di mata masyarakat, dari kecenderungan berfikir rasional ‘ala Mu’tazilah kepada berfikir tradisional, dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, didirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah, dan di antaranya di Bagdad di mana al-Ghazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah inilah diajarkan teologi Asy’ariyah. Pembesar-pembesar negara juga menganut aliran Asy’ariyah. Dengan demikian faham Asy’ariyah sejak itu mulai tersebar luas bukan hanya di daerah kekuasaan Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya. [15]

2. ASWAJA ; sebagai sebuah sistem nilai NU.
Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham ASWAJA dengan mempertahankan, melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara eksplisit, tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut :
”Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.” [16]
Dalam anggaran dasar tersebut selanjutnya disebutkan bahwa: ” Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengajar, soepaja diketahoei pakah itoe daripada kitab-kitab Ahlussunnah wal Djama’ah atoe kitab-kitab ahli bid’ah.” [17]
Dalam anggaran dasar di atas, tampak jelas NU menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaharu. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan-gagasan kaum pembaharu. Dalam kenyataannya NU memiliki sebuah badan sensor yang memutuskan kitab-kitab mana yang diangap mu’tabar, yakni aman dibaca. Pada muktamar NU pertama menghasikan kesepakatan perlunya seleksi atas fatwa-fatwa yang berbeda, di samping seleksi atas kitab-kitab mazֹhab Syafi’i itu sendiri.
Dalam beberapa kali muktamar, antara lain tahun 1961 dan 1979 telah terjadi perubahan anggaran dasar, namun secara subtansial pada dasarnya angaran dasar NU tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam anggaran dasar tahun 1961, misalnya, tidak disebutkan secara eksplisit Ahlussunnah wa al-Jama’ah, namun dalam bagian tujuan NU disebutkan bahwa tujuan NU adalah menegakkan syari’at Islam dengan haluan salah satu dari mazhab empat. Dalam muktamar NU XXVI di Semarang tahun 1979, disebutkan pula tujuan NU seperti dalam muktamar sebelumnya. Selanjutnya tahun 1984 dalam Muktamar NU ke XXVII di Situbondo menetapkan bahwa faham Ahlussunnah wa al-Jamā’ah sebagai landasan akidah bagi NU;
” Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali”.[18]
Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan keagamaan NU.
Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Namun demikian, ASWAJA yang dikembangkan oleh NU berbeda dengan yang dikembangkan oleh kalangan pembaharu yang juga mengkliam sebagai penganut ASWAJA dan menobatkan dirinya sebagai pembela Islam puritan (murni) yang kembali kepada al-Qurān dan al-Hadis serta menolak taklidisme (pembekuan). Dapat dilihat dari pernyataan pembaharu ; Ibnu Taymiyyah, tentang mazhab Ahlussunnah wa al-Jama’ah;
”Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan mazhab yang telah lama. Disebutkan Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan Ahmad ibn Hanbal (pengikut mazhab ini). Madzhab tersebut merupakan madzhab sahabat yang mereka terima dari nabi mereka. Siapa yang menyimpang dari madzhab tersebut dia pembid’ah, menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka sepakat bahwa ijma’ sahabat sebagai hujjah, dan mereka berselisih faham tentang ijma’ sesudah mereka.” [19]
Akan tetapi klaim di atas, pada sisi lain, justru memunculkan reaksi keras dari kelompok Islam tradisional. Bagi NU, paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah bukanlah sosok Islam puritan dan ekstrimisme, tetapi paham yang menekankan keseimbangan pada dalil naqliyah dan aqliyah. Ekstrimisme rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Demikian pula ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadatan yang dipertimbangkan secara matang. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.[20]
Oleh karena itu, paham ASWAJA tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan bagi NU :
Pertama, tawasuth dan i’tidal, yakni sikap tengah yang berintikan kepada prinsip menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini, NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
Kedua, sikap tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi khilāfiyyah, maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga, sikap tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT , khidmat kepada sesama manusia serta khidmat kepada lingkungannya. Menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
Keempat, prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yakni segenap warga NU diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfa’at bagi kehidupan bersama, serta mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[21]

3. ASWAJA ; sebagai sebuah tradisi pemikiran NU.
Di lihat dari latar belakang kelahirannya, paham ASWAJA sebenarnya lebih merupakan sebuah madzhab dalam akidah. [22] Karena kemunculannya adalah bagian dari salah satu madzhab teologi yang ada ketika itu. Olah karena itu, pada dasarnya ASWAJA adalah gerakan pemikiran yang menekankan kemurnian agama Islam, persatuan kaum muslimin dan keseimbangan yang harmonis antara aspek normativitas dan aspek historisitas.
Sebagai mazhab pemikiran, ASWAJA memiliki corak tersendiri yang membedakan dengan pemikiran madzhab lain.
Pertama, al-iqtisadl wa al-tawassuth, yakni sikap moderat yang menengahi antara dua pikiran yang ekstrim; antara Qadariyyah (freewillisme) dan Jabariyah (fatalisme), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.
Kedua, watak pemikiran ASWAJA adalah toleran (tasamuh) terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan ASWAJA memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Sebuah wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam bidang pemikiran, ASWAJA tidak hanya sangat responsif terhadap berbagai pemikiran mazׂhab yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat, seperti madzhab empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H/ 767 M), Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M), Imam Mumahhad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H/ 820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti Imam Daud al-Dhahiri (w. 270 H/ 884 M), Imam Abdurrahman al-‘Auzai’ (w. 157 H/ 774 M), Imam Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/ 778 M) dan lain-lain.
Dalam diskursus sosial budaya, ASWAJA banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam ASWAJA tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu tidak mengherankan jika tradisi ASWAJA yang dikembangkan NU terkesan wajah syi’ah atau bahkan juga Hinduisme.
Sikap toleran ASWAJA yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralisme pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Dan ini akan mengantarkannya pada visi kehidupan dunia yang rahmatan lil ‘alamin di bawah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. [23]
Dalam tradisi pemikiran NU, pemikriran madzhab ASWAJA diformulasikan dalam tiga hal :
Pertama, dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Namun dalam prakteknya mayoritas kalangan di NU adalah penganut setia madzhab Syafi’i.
Kedua, dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi.
Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim al-Junaedi al -Bagdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. [24]
Ketiga pemikiran keagamaan di atas bagi NU merupakan tradisi ilmu keagamaan yang masing-masing memiliki pertautan organis antara ketiganya secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Pertautan kedua dimensi dalam kehidupan itu merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk dapat menghadapi tantangan sekularisme dan modernisme. [25]

4. ASWAJA ; sebagai sebuah tradisi kepemimpinan ulama.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa NU memiliki karakteristik tersendiri dari organisasi lain. Salah satu di antara itu adalah otoritas dan kepemimpinan ulama.[26] Dalam lingkungan NU, ulama memiliki posisi yang sangat strategis, di samping karena pengaruh tradisi keagamaan yang dikembangkan, yakni paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang mengharuskan penghormatan dan otoritas ulama, juga pemilihan nama organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) menggambarkan posisi sentral ulama dalam NU. [27]
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, ulama memiliki multi fungsi. Satu saat ia berfungsi sebagai dinamisator masyarakat, namun pada saat yang sama ia berperan sebagai stabilisator. Dengan dilatar belakangi oleh misi Islamisasi dan membentengi umat dari ancaman sekularisasi, ulama terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik di masa penjajahan dan kemerdekaan di satu sisi, serta mempertahankan kebudayaan Islam dan homogenitas masyarakat di sisi lain. Kecuali itu, peran utama ulama tetap dipertahankan, yaitu sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan itu sendiri melalui pengajaran ilmu-ilmu agama. [28]
Namun demikian tidak berarti seorang yang ahli suatu ilmu agama Islam disebut ulama. Dalam tardisi NU, seseorang baru disebut ulama jika ia memiliki kedalaman ilmu agama dan pernah menempuh jalur pendidikan (mengaji) di pesantren.[29] Oleh karena itu, dalam menetapkan atau memberikan gelar ulama, NU memberikan kriteria sebagai berikut :
Pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Fathir ayat 28.
Kedua, seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi missi (risalah) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Para ulama adalah pewaris Nabi.
Ketiga, seseorang disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti: tekun beribadat (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akherat (ilmu agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemashlahatan umat (peka terhadap kepentingan umum) dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dilambari niat yang baik dalam berilmu maupun beramal. [30]
Kedudukan ulama yang sentral di atas, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang berkembang di masyarakat juga. Pada mulanya, paham keulamaan itu hanya berlaku di kalangan pesantren dan masyarakat sekelilingnya. Tata hubungan antara santri dengan kiai dan anggota masyarakat dengan pesantren, penuh simbol kesopanan yang pada dasarnya pengakuan terhadap kepemimpinan dan otoritas ulama. Namun dengan lahirnya NU, paham keulamaan ini semakin menampakkan bentuknya dalam formulasi yang cukup jelas. Penempatan Lembaga Syuriyah pada struktur paling atas dalam kepengurusan NU merupakan bukti perwujudan paham keulamaan tersebut.
Secara formal keharusan mengakui kedudukan dan otoritas ulama tertulis dalam AD-ART NU Pasal 7, ayat 1-2 :
”Kepengurusan NU terdiri dari Syuriyyah dan Tanfidiyyah. Syuriyah merupakan pimpinan tertinggi NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tanfidiyyah merupakan pelaksana sehari-hari ”. [31]
Selain itu, pengurus Syuriyyah yang terdiri dari para ulama atau kiai, mempunyai hak veto dalam tugasnya sebagai pengawas organsisasi. Hal veto itu dicantumkan secara jelas dalam ART-NU :
” Dalam rangka pembinaan, pembimbingan dan pengawasan, maka Syuriyyah berkewajiban setiap saat memberikan teguran, saran dan bimbingan kepada seluruh perangkat organisasi.
Apabila suatu keputusan atau kebijaksanaan suatu perangkat organisasi dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Syuriyyah berhak membatalkan. Dan pembatalan tersebut diambil dalam suatu rapat pengurus Syuriyah lengkap”. [32]
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya jami’yyah NU adalah jam’iyyah-nya para ulama. Peranan ulama di dalam NU tidak sekedar pemimpin tertinggi, melainkan juga pengawas, pembimbing, pembina dan penegur apabila ada penyimpangan.
Peranan seperti itu, tentu saja banyak berpengaruh dalam kebebasan berorganisasi yang telah diatur oleh Anggaran Dasar. Misalnya dalam soal pemilihan ketua tanfidiyyah yang seharusnya dipilih secara bebas oleh muktamar, sedikit banyak akan terwarnai oleh otoritas ulama. Dengan kata lain, betapapun hebatnya seorang calon pemimpin tanfidiyyah, tanpa mendapat legitimasi dari ulama, sulit dapat diterima.
Oleh karena itu, besarnya independensi dan otonomi ulama dengan pesantrennya tidak jarang membuat NU mengalami hambatan dalam melakukan konsolidasi. Dengan semua kekuatan kultural yang dimilikinya, kiai dan pesantren bagaikan wilayah yang terpisah dari jaringan kepemimpinan NU yang tunduk pada hirarkhi otoritas keorganisasian.
Di satu sisi, kiai dan pesantren merupakan bagian dari warga NU yang terikat oleh seperangakat peraturan organisasi, dalam arti bahwa semua sikap dan tindakan yang memerlukan keselarasan irama harus berada di bawah koordinasi organisasi. Namun di sisi lain, pola hubungan mereka dengan masyarakat dan warga NU yang berproses secara mandiri dan berpijak pada kebesaran kharismanya menyebabkan munculnya kesulitan mengefektifkan jalur koordinasi yang ada dalam NU. [33]

C. Khulashah
Dalam pandangan penulis, untuk memperoleh potret NU dengan sesungguhnya belumlah cukup hanya melaui kajian historis saja, tetapi kajian terhadap sistem nilai dan tradisi yang berlaku di lingkungan NU justru akan lebih membantu dalam melihat NU secara komprehensif. Karena pada dasarnya apa dan mengapa NU ada dan bersikap, tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai dan tradisi pemikiran yang berlaku di NU; yaitu keteguhannya untuk mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan paham Islam ‘ala Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Demikian pula tradisi kepemimpinan ulama yang berlaku di lingkungan NU juga banyak menentukan perilaku dan keputusan di NU.











* Makalah disampaikan pada acara Latihan Kader Muda (LAKMUD) X PAC. IPNU – IPPNU Kaliwungu pada tanggal 12 Pebruari 2011 di SKB Cepiring Kendal. Penulis adalah Dosen IAIN Walisongo dan Wakil Sekjen Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah.
[1] Greg Fealy, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, LKiS, 1997, hal. vii
[2] Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesanteren, Jakarta : LP3ES, 1982, hal. 1
[3] Ibid, hal. 6
[4] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1980, hal. 320
[5] KHA. Sahal Mahfudz, Pesantren Mencari Makna, Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999, hal. 23
[6] Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam in the Modern World (Tarj), Bandung : Pustaka, 1987, hal. 3. Dalam catatan kakinya, Seyyed Hossein Nasr memperkuat dengan pendapat Schoun dalam pengantar untuk Understanding Islam, “ Tardisi bukanlah suatu mitologi yang kekanak-kanakan dan usang melainkan suatu sains yang bebar-benar nyata.
[7] Seyyed Hossen Nasr, Ibid, hal. 4-5. Lihat pula Abdurrahman Wahid, makalah NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta : LkiS, 1999, hal 154
[8] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Sala: NST, 1985 , hal. 135
[9] KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999, hal. 35
[10] Jalal Muhammad Musa , Nasy’ah al Asy’ariyah wa Tatawwuruha, seperti dikutip oleh Ali Khaidar, Op. Cit, hal. 67
[11] Al Syathibi, al I’tishom, Baerut : Dar al Fikr, Vol. III, hal. 136-142. Dikutip dari Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 35.
[12] KH. Husin Muhammad, Op. Cit, hal. 35-36
[13] W. Montogmery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Tarj), Tiara wacana, Yogyakarta : 1999, hal. 104.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejaran Analisa Perbandingan, , Jakarta: UI-Press 1986, hal. 61.
[15] Harun Nasution, Ibid, hal 75.
[16] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel ‘Oelama, diterbitkan sebagai suplemen Javasche Coerant 25 Pebruari 1930 dan dimuat kembali sebagai lampiran dalam Anam 1985. Lihat Martin Van Bruinnessen, Op. Cit, hal. 42.
[17] Ibid, Pasal 3 ayat b.
[18] Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, Jakarta : Gramedia, 1995, hal. 69-70.
[19] Taqiyyuddin ibn Taymu\iyyah, Minhaj al Sunnah al Nabawiyyah fi Naqd Kalam al syi’ah wa al Qadariyyah, Marwa Mekka : Dar al Baz, t.t, vol. I, hal. 526. Seperti dikutup oleh M. Ali Khalidar, Op. Cit, hal. 68
[20] K.H.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta : LKiS, 1994, hal. 189
[21] Hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Semarang, Sumber Barokah, 1986,hal. 102, seperti dikutip oleh M. Masyhur Amin, NU & Ijtihad Politik Kenegaraan, Al amin Press, Yogyakarta : 1996, hal. 86-88.
[22] Penyebutan ASWAJA sebagai madzhab dalam terminologi NU agaknya masih diperdebatkan. Abdurrahman Wahid kurang sependapat jika ASWAJA disebut madzhab, karena akan terjadi patadox; di satu sisi ia sebagai madzhab, namun pada sisi lain karakteristik bahwa ber-NU atau beraswaja adalah bermadzhab fiqih, tauhid dan bertasawuf adalah madzhab itu sendiri. Artinya jika madzhab mengikuti madzhab berarti akan menimbulkan problem dan paradox. Lihat Abdurrahman Wahid dalam makalah, Dilema Pendekatan Tarikh (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 180. Namun demikian penyebutan ASWAJA sebagai madzhab juga dapat dibenarkan, karena bagaimanapun pada dasarnya ASWAJA memakai unsur manhaj (cara berfikir) dan doktrin (manhajiyyan wa ‘aqidiyyah) yang dapat dibedakan dari madzhab lain. Baca KH. Husein Muhammad, Op. Cit, hal.37.
[23] KH. Husein Muhammad, Ibid , hal. 39-41.
[24] Said Aqiel Siradj, Latar Kultur dan Politik Kelahiran ASWAJA (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 3. Namun berbeda menurut KH. Bisri Musthofa yang tidak mencantumkan al Ghazali dalam tokoh tasawuf dalam ASWAJA, baca KH. Bisri Musthofa, Risalah Ahlussunnah wal jama’ah, Yayasan al Ibriz, Kudus : Menara Kudus, 1967, hal. 19. Dikutip dari Dhofier, Op. Cit. hal 149. Untuk lebih jelasnya baca Qanun Asasi NU.
[25] Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta : LKiS, 1999, hal. 153-155
[26] Ulama (mufrd ; alim) berarti orang yang berilmu atau sarjana. Karena itu ada ulama fiqih, ulama hadis, tafsir falak hisab, wirid, tarekat dan sebagainya. Dalam terminology Bahasa Jawa, ulama diistilahkan dengan Kiai, yaitu gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Di Jawa Barat ( Bahasa Sunda) kiai disebut ajengan. Baca Dhofier, hal. 55
[27] A. Gaffar karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta : LkiS, 1995, hal. 45. Menurut Mitsuo Nakamura, bahwa pada dasarnya struktur organisasi NU tidak bisa dilepaskan tradisi sunni, yakni (a). Kepemimpinan spiritual ulama vis-vis umat, (b). Solidaritas kolegaial antara para ulama. Baca Nakamura, Tradisionalisme Radikal Catatn Muktamar Semarang 1979 (ed), hal. 67
[28] Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta : P3M, 1987, hal. 114. Baca pula Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit. hal. 55-60
[29] Choirul Anam, Op. Cit, hal. 174
[30] Ahmad Siddiq, Oal-Fikrah al-Nahdliyah, Surabaya : POSSANU Jatim, hal. 26. baca Anam, Op. Cit, hal. 175
[31] AD-NU Pasal 7, ayat 1-2, hal. 9-10, sebagaimana dikutip Anam, Ibid, hal. 175
[32] Ibid, hal. 39
[33] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta : 1999, hal. 11
Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

Statistik Blog

 
Support : dzulAceh | DownloadRPP | BerintaNanggroe
Copyright © 2015. IPNU IPPNU PASURUHAN LOR - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Modified by dzulAceh
Proudly powered by Blogger