Cara dan Hukum
Melaksanakan Haul
Kalau kita amati, akhir-akhir ini banyak
dijumpai acara haul, baik yang
diselenggarakan perorangan maupun
organisasi. Ada yang dilangsungkan
secara sederhana, dengan memanggil
kerabat serta tetangga dekat, untuk
bersama-sama melaksanakan tahlil atau
khataman Al-Qur’an.
Adapula yang mengundang dai atau
ulama untuk memberikan wejangan
keagamaan dan mau’idhah hasanah,
dalam suatu forum terbuka yang populer
dengan pengajian umum.
Meski budaya haul sudah berjalan sejak
lama di Indonesia dan menjadi tradisi,
ada sebagian orang yang menganggapnya
sebagai perbuatan terlarang dengan
anggapan bid’ah, tidak bermanfaat
baginya.
Untuk mengetahui status hukum haul,
tidak bisa dilepaskan dari bentuk
kegiatan dalam rangkaian acaranya.
Artinya, menghukumi haul sama saja
dengan menghukumi perbuatan yang
terdapat dalam perhelatan itu sendiri.
Haul sebenarnya diserap dari bahasa
Arab al-haul yang berarti tahun. Dalam
bab zakat sebagaimana kita jumpai
dalam literatur-literatur fiqih, haul
menjadi syarat wajibnya zakat hewan
ternak, emas, perak, serta harta
dagangan. Artinya, kekayaan tersebut
baru wajib dikeluarkan zakatnya bila
telah berumur satu tahun.
Dari hal itu tampak adanya kesesuaian
antara makna lughowi haul dengan acara
‘haul’ dimaksud. Sebab, dalam
kenyataannya acara haul dilakukan satu
tahun sekali, pada hari kematian /
wafatnya orang yang di hauli. Jika kita
perhatikan, muatan peringatan haul tidak
lepas dari tiga hal.
Pertama , tahlilan dirangkai doa kepada si
mayit. Kedua , pengajian umum yang
kadang dirangkai dengan pembacaan
secara singkat sejarah orang yang di
hauli, yang mencakup nasab, tanggal
lahir atau wafat, jasa-jasa, serta
keistimewaan yang kiranya patut
diteladani. Ketiga , adalah sedekah, baik
diberikan kepada orang-orang yang
berpartisipasi pada dua acara tersebut,
atau diserahkan langsung ke rumah
masing-masing. Status hukum tiga hal
tersebut, dengan sendirinya akan
menentukan hukum haul.
1. Tahlil/baca Al-Quran/mendoakan
mayit.
Mayoritas ulama dari empat mazhab,
sebagaiman diterangkan Syeikh KH.Ali
Ma’sum Al-Jogjawi (dari jogakarta)
dalam kitab Hujjah Ah Assunnah wa Al-
jam’ah, berpendapat pahala ibadah atau
amal saleh yang dilakukan orang yang
masih hidup bisa kepada kepada mayit.
Pengertian atau amal saleh di sini umum,
mencakup bacaan Al-Quran, dzikir,
sedekah dan lain-lain. Mendoakan juga
berguna baginya. Mendoakan orang yang
telah meninggal jelas berbeda dengan
berdoa kepadanya.
Yang pertama berarti memintakan kepada
Allah Swt. Agar mendapat pengampunan,
tempat yang layak di akhirat atau agar di
bebaskan dari siksa. Hal itu tentu saja
diperbolehkan. Bahkan, termasuk
beberapa amal jariyah yang pahalanya
terus mengalir adalah anak saleh yang
mendoakan orang tuanya.
Sedang yang kedua, berdoa kepada si
mayit, jelas dilarang dan bisa menjurus
kepada perbuatan syirik (surat Yunus
ayat 106). Berdao atau meminta sesuatu
pada mayit berbeda pula dari tawassul
(surat Al-Maidah ayat 35)
2. Pengajian
Pengajian merupakan salah satu dakwah
billasan (dengan ucapan). Untuk
memberikan wawasan, bimbingan dan
penyuluhan yang bertujuan meningkatkan
kualitas ketakwaan kaum muslimin,
dengan jalan memperluas pemahaman
mereka tentang ajaran agamanya.
Peningkatan iman dan takwa diharapkan
akan mendorong melakukan amal saleh,
baik ibadah ritual, individual, maupun
social.
Dari sana pula diharapkan moralitas dan
etika dikalangan masyarakat meningkat.
Pola dakwah dalam bentuk pengajian
memiliki beberapa kelebihan, di
sampinng kekurangan. Kelebihannya,
peserta tak perlu mengeluarkan biaya,
dapat menampung jumlah yang banyak
dari berbagai lapisan, temanya bisa
disesuikan dengan kebutuhan masyarakat
setempat, dan pesan-pesanya
disampaikan dengan bahasa yang mudah
dipahami dan dicerna sesuai kadar
intelektual pesertanya.
Melihat tujuan-tujuan tersebut, kita tidak
perlu memper-masalahkan status hukum
pengajian, asal pesan-pesan yang di
sampaikan tidak menyimpang dari ajaran
Islam. Pengajian termasuk pelaksanaan
amal ma’ruf nahi munkar.
3. Sedekah
Adapun sedekah yang pahalanya di
berikan/hadiahkan kepada mayit, pada
dasarnya diperbolehkan. Karena hal itu
termasuk amal saleh, seperti disinggung
di atas.
Dari keterangan tersebut, jelas aktivitas
dalam rangkaian upacara haul
dibenarkan adanya. Maka dengan
sendirinya haul itu sendiri tidak dilarang.
sumber: www.nu.or.id
Posting Komentar