Selamat Datang di Portal Pendidikan

Religi Orang Jawa (Masa Akulturasi Budaya Jawa, Agami Jawi, Gerakan Mistik, Magic, Ilmu Kebatinan, Serta Memahami Konstruksi Sosial Tradisi Islam Lokal)

Kalau ada teman - teman yang sedang
bingung untuk membuat makalah mengenai
Religi Orang Jawa, teman- teman bisa baca
tulisan dibawah ini.
khususnya buat teman - teman yang
mendapat tugas mata kuliah Antropologi
Religi, bisa baca juga nih :D
tapi sumbernya juga diambil dari buku dan
sumber internet yang lainnya . selamat
membaca .
RELIGI ORANG JAWA
(Masa Akulturasi Budaya Jawa, Agami Jawi,
Gerakan Mistik, Magic, Ilmu Kebatinan, Serta
Memahami Konstruksi Sosial Tradisi Islam
Lokal)
MASA AKULTURASI BUDAYA JAWA
(Suwardi Endraswara)
A. Paham Animisme Kejawen
Seluruh kepercayaan manusia Jawa berunsur
pada animisme dari jaman prasejarah sampai
sekarang, termasuk kepercayaan tentang
mahluk halus, roh leluhur yang mendiami
macam-macam tempat tertentu. Dalam
sejarah pulau Jawa ada tiga jaman pokok
mengenai agama yaitu :
ü Jaman prasejarah sampai abad 8, dimana
jaman itu rakyat Jawa tinggal di dalam
masyarakat kecil dan kepercayaan animisme.
Kepercayaan animisme termasuk kepercayaan
manusia mengenaqi mahluk halus dan roh
lelehur yang mendiami bermacam-macam
tempat.
ü Jaman kerajaan Hindu-Budha. Pertama
dengan kerajaan Mataram dari abad 8 sampai
abad 10 yang terletak di Jawa Tengah,
kerajaan Majapahit dari abad 13 sampai abad
16 yang terletak di Jawa Timur. Pada jaman
tersebut masyarakatnya beragama Hindu
serta Budha.
ü Jaman Islam setelah abad 16 waktu
kerajaan Majapahit turun. Kerajaan Islam
yang dibentuk masih menyimpan banyak
tradisi dari kerajaan Hindu-Budha tetapi
memakai agama Islam.
Karena ketiga jaman agama tersebut, agama
Jawa saat ini berlapiskan tiga, yaitu
kepercayaan animisme, agama Hindu-Budha,
dan agama Islam.
Walaupun mayoritas orang Jawa beragama
Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa
punya perbedaan dari agama Islam yang di
lakukan di daerah Timur Tengah. Agama
Islam di Jawa dicampuri dengan kepercayaan
manusia lain asli Jawa, yaitu kepercayaan
animisme dam kepercayaan dari kerajaan
Hindu-Budha.
Asalnya kepercayaan animisme adalah dari
jaman prasejarah dan bagian kepercayaan itu
masih hidup sampai sekarang. Penganut
animisme adalah orang-orang yang percaya
bahwa tempat-tempat atau objek-objek punya
kepercayaan tersendiri, mislanya orang yang
percaya dengan mahluk halus, roh leluhur dan
hantu yang mendiami macam-macam tempat.
B. Hindu-Budha Ke Jawa
Pengaruh Hindu Budha yang paling mengakar
dalam kehidupan orang Jawa terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup kental,
karena Hindu-Budha memberikan tat tulis,
perhitungan tahun Saka, serta sastra yang
mengandung filsafat keagamaan beserta
ajaran mistik yang cukup halus. Artinya,
Hinduisme memberikan dan mengangkat
budaya intelektual selapis suku Jawa dan
melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan
budaya religi animisme dan dinamisme yang
asli dan telah mengakar dengan berbagai
macam tradisi dan aturan-aturan (hukum)
adatnya.
Asalnyaagama Hindu dan agama Budha
adalah dari India dan agama tersebut datang
ke pulau Jawa sebelum abad ke 8. Agama
Hindu-Budha menguasai pulau Jawa selama
delapan abad dan agama itu memang
pengaruhi kepercayaan manusia Jawa
terhadap gunung. Tempat bergunung-gunung
sepanjang sejarah agama ini dipakai sebgai
tempat smemedi. Simbolisme agama Hindu
dalam kepercayaan manusia Jawa memang
kuat sekali.
Kosmologi agama Hindu termasuk lima
dewnya menurut mata angin dan Siwa
sebagai tengah. Dari dewa Siwa ditengah,
ada Iswara ke timur, Brama ke selatan,
Mahadewa ke barat dan Wisnu ke utara.
Selanjutnya karena dunia manusia
berhubungan dengan dunia alam dan ghaib,
pada waktu kerajaan Hindu-Budha kalau ada
bencana seperti letusan gunung berapi, banjir
dan sebgainya, bencana tersebut akan
mengkurangkan kekuatan rajanya.
Sebenarnya Hindu-Budha tidak mematikan
budaya Jawa asli akan tetapi sebaliknya justru
memupuk dan menyuburkannya. Tidak hanya
itu, Hinduisme meningkatkan filsafat hidup
dan wawasan tentang alam raya beserta
teori-teori kenegaraan yang dipengaruhi oleh
raja-raja yang keramat sebagai wakil para
dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat
yang diberkati para dewa. Oleh karena itu
Hinduisme kemudian mengakar dalam dan
menjadi penyangga kebudayaan priyayi
kejawen yang menjulang di lingkungan istana
kerajaan-kerajaan.
Paham ini telah membentuk tradisi besar,
sedangkan masyarakat petani pedesaan yang
hanya selapis tipis tersentuh Hinduisme tetap
buta huruf dqan mewujudkan tradisi kecil
dlam budaya Jawa. Namun budaya animisme
dan dinamisme tetap bertahan serta ikut
menjiwai pula dalam pola kebudayaan priyayi
di lingkungan tradisi besar. Kemudian
kedatangan agama Islam yang mulai
menyebar di Indonesia sejak abad ke-13 M,
ternyata juga tidak mengganggu budaya asli
animisme dan dinamisme di Jawqa, karena
budaya asli ini mempunyai watak yang elastis
yang dapat menyusup dalam kehidupan Islam
pesantren.
C. Pengaruh Hindu Jawa
Coedes (Koentjaraningrat (1994 : 38-40))
menjelaskqan bahwa bukti-bukti tertua
mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa
berupa prasasti-prasasti dari batu yang
ditemukan di pantai utara Jawa Barat kurang
lebih 60 kilometer sebelah timur kota Jakarta
di lembah sungai Cisedane. Walaupun tidak
ada tanggal pada prasasti itu, tetapi dilihat
dari bentuk dan gaya huruf India Selatan dari
tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu
merupakan suatu diskripsi mengenai
beberapa upacara yang dilakukan oleh
seorang raja untuk merayakan peresmian
bangunan irigrasi dan bangunan keagamaan
dalam abad ke-11 M.
Kebudayaan Hindu mengkin telah
mendominasi hampir seluruh Asia Selatan
dan Asia Tenggara pada waktunya, tetapi
pengaruhnya yang terbesar adalah terhadap
masyarakat istana, sedangkan konsep-konsep
Hindu hanya sedekit mempengaruhi
masyarakat petani di daerah pedesaan yang
cara hidupnya barangkali tidak banyak
berubah sejak abad-abad yang lalu.
Dapat dibedakan dua tipe umum kerajaan
Hindu-Indonesia, yaitu :
ü Kerajaan-kerajaan pantai yang didasarkan
atas perdagangan yang berkembang sekeliling
suatu kota pelabuhan.
ü Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah
pedalaman, dilembah-lembah dan daratan
tinggi yang sangat subur diantara sungai-
sungai dan komplek-komplek gunung berapi
di Jawa.
Dalam kerajaan-kerajaan agraris di Jawa
maupun di banyak kerajaan di Asia Tenggara,
berkembang konsep khusus mengenai sifat
raja. Dasarnya adalah kesadaran orang-orang
akan hubungan yang dekat antara susunan
alam semesta dengan kerajaan manusia.
Pandangan mengenai susunan alam semesta
pada orang Jawa jaman dahulu itu diambil
alih dari agama Hindu, yang menganggap
bahwa alam semesta merupakan benua
berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh
beberapa samudera dengan pulau-pulau
besar di empat penjuru, yang merupakan
tempat tinggal keempat penjaganya yang
keramat.
Walaupun pandangan kita banyak tentang
cara hidup, pandangan hidup, dan agama
raja-raja, para bangsawan, dan para pemuka
agama dalam masyarakat Jawa zaman dahulu
yang dapat kita pelajari dari piagam-piagam
kerajaan, kesusasteraan Jawa kuno dan sisa-
sisa candi-candi kuno serta monumen-
monumen keagamaan, kita samasekali tidak
tahu apa-apa mengenai kehidupan para
petani di daerah pedesaan jaman itu.
D. Islam Kejawen
1. Paham Ngerti Sadurunge Winarah
Shihab memaparkan bahwa penyebaran Islam
di negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum
ulama pesantren. Mereka ini menggunakan
tasawuf Suni sebagai pegangan dalam
penyebaran agama Islam, semenjak beberapa
abad yang lalu. Dengan tasawuf tersebut,
mereka melawan pandangan kaum kebatinan,
yang dalam budaya Jawa dikena dengan nama
Kejawen. Sebagai bukti sejarah atas
penentangan mereka itu, disebutkan Syekh
Siti Jenar (Tanah Merah atau Lemah Abang)
sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf
Suni di atas, dan karena itu dihukum mati
oleh para Wali Sanga (Wali Sembilan).
Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada
akhirnya mengembangkan paham kebatinan/
kejawen di negeri ini.
Hukuman mati yang dijatuhkan Wali Sanga
atas Syekh Siti Jenar, bukqanlah karena
beliau berpaham Wihdatul Wujud. Beliau
mengajarkan paham itu kepada orang banyak.
“Dosa” Syekh Siti Jenar bukan terletak pada
penerimaan beliau pada Wihdatul Wujud,
melainkan dalam “sikap gegabah beliau
dalam mengajarkan paham tersebut di
kalangan orang kebanyakan”. Karena itulah,
kaum penganjur tarekat (dikenal sebagai
kaum tasawuf, kaum sufi) selalu
mementingkan menjalankan syariat sebelum
bertasawuf.
Pandangansemacam itu dikenal di kalangan
Nahdlatul Ulama (NU) dan kaum tradisionalis
lain dengan ungkapan Man Yatakhaqq’ Walam
Yatasyarra’ Fahuwa Zindiqum (orang yang
berpandangan hakikat dan tidak menjalankan
syariat adalah orang sesat), kesimpulan dari
pandangan ini ialah anggapan para ulama
tradisonalis kita yang tidak menolak Wihdatul
Wujud –nya Ibnu Arabi, melainkan melarang
penyebarannya di kalangan mereka yang
masih awam. Mereka menolak Pantheisme
atau Wihdatul Wujud tersebut dikalangan
orang awam, tetapi bagi kepentingan diri
mereka sendiri, mereka juga menjalankan
paham tersebut secara tertutup.
Jadi dengan demikian antar kaum syara’ dan
kaum kebatinan (kejawen) memang berbeda
tetapi tidak bertentangan atau dengan kata
lain tidak ada pertentangan prinsipial antara
kaum Wihdatul Wujud (kebatinan/kejawen)
dan kaum syariat yang menggunakan referensi
fikih.
2. Tradisi dan Bid’ah
Sebetulnya membicarakan bid’ah sendiri tidak
mungkin terlepas dari perjalanan panjang
sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Islam di negeri ini. Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
ü Metode dakwah
ü Latarbelakang budaya
ü Sistem-sistem simbol
Dari hal tersebut jelas bahwa Islam di negeri
ini cenderung berwajah kultural.
Metode dakwah Islam berbeda dengan agama
lain. Islam masuk ke Indonesia dengan begitu
elastik. Baik yang berhubungan dnegan
pengenalan simbol-simbol Islam atau ritus-
ritus keagamaan. Dapat dilihat bahwa masjid
pertama yang dibangun menyerupai arsitektur
lokal warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam
lebih toleran terhadap warna/ corak budaya
lokal. Tidak seperti, miswalnya Budha yang
masuk membawa ‘stupa’ atau bangunan
gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat.
Dengan demikian Islam tidak memindahkan
simbol-simbol budaya yang ada di Timur
Tengan (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Para pendakwa dulu memang lebih lues dan
halus dalam menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat yang heterogen setting
nilai budayanya. Wali Sanga dapat dengan
mudah memasukkan Islam karena agama
tersebut tidak dibawanya dalam bungkus
Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan
bercita rasa Jawa. Artinya masyarakat diberi
“bingkisan” ynag dibungkus budaya Jawa
isinya Islam. Contohnya, Sunan Kalijaga
banyak menciptakan kidung-kidung Jawa
bernafaskan Islam, misalnya ilir-ilir, tandure
wis semilir. Pertimbangannya jelas
menyangkut keefektifan memasukkan nilai-
nilai Islam dengan harapan mendapat ruang
gerak dakwah yang lebih memadai.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian
tentunya tidak lepas dari latarbelakang Jawa
itu sendiri. Untuk mengetahui latarbelakang
budaya, kita memerlukan sebuah teori
budaya. Menurut Kuntowijoyo (Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi) sebuah teori
budaya akan memberikan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan berikut : pertama, apa
struktur dari budaya, kedua atas dasar apa
struktur itu dibangun, ketiga bagaimana
menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua menjelaskan
mengenai hubungan antar simbol dan
mendasarinya. Paradigma positivisme-
pandangan Marx diantaranya-melihat
hubungan keduanya sebagai hubungan atas
bawah yang ditentukan oleh keadaan
ekonomi, yakni modus produksi.berbeda
dengan pandangan Weber yang dalam
metodologinya menggunakan verstehen atau
menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami
makna subjektif dari perbuatan-perbuatan
berdasarkan sudut pandang pelakunya.
Realitas ialah relaitas pelakunya, bukn
pengamat. Hubungan kausal-fungsional
dalam ilmu empiris-positif digantikan
hubungan makna dalam memahami budaya.
Sehingga dalam budaya tak akan ditemui
usaha merumuskan hukum-hukum
(nomotetik), tapi hanya akan melukiskan
gejala (ideografik).
Dengan demikian, mengikuti premis Weber
tersebut, dari simbol-simbol budaya yang
seharusnya dipahami atau ditangkap
esensinya adalah makna yang tersirat. Dapat
dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi),
simbol boleh berbeda otoritas asal makna
masih sama. Hanya saja yang perlu dikoreksi
adalah simbol-simbol tadi pada dasarnya
adalah kata benda. Sedangkan menurut
logika berfikir, kata benda atau simbol-simbol
tadi yang sering diperdebatkan untuk
kemungkinan disalahkan atau dibenarkan.
Perdebatan simbol itu akan menggiring kita
untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dahulu orang menciptakan simbol agar
perasaan kita tajam, namun karena pengaruh
Barat kita menangkap semua itu dengan visi
dan paradigma positivisme. Dari pembicaraan
simbol-simbol (untuk pengungkapan nilai)
Islam diatas yang berpotensi memunculkan
bid’ah, maka kemudian timbul pertanyaan
apakah tidak mungkin kalau keadaan tersebut
justru mengakibatkan budaya yang tidak
Islami? Kalau konsepsi tentang budaya di
awal mengacu pada perpsektif ‘kata benda’
maka akan menjawab Islam atau tidak kiranya
akan lebih mengena jika menggunakan
pendekatan budaya sebagai ‘kata kerja’.
Dalam pengertian yang terakhir ini budaya
dipahami sebagai kreatifitas atau rekayasa.
Dalam konteks Islam, istilah tarekat mungkin
akan dapat menggantikan konsepsi budaya
sebagai kata kerja, yaitu ketika manusia
menyambung-anyamkan antara kenyataan
alam (sunatullah) dengan realitas sosial
(syariat). Untuk menuju yang Islam, orientasi
tarekat tadi mesti diarahkan oleh kesadaran
wahidy: proses perjalanan kembali kepada-
Nya. Sebab yang demikian tentunya yang
akan diridhai. Itulah kreatifitas yang Islami.
Sehingga segala tindakan manusia dalam
menjawab tantangan yang diridhai Allah SWT
akan mewujudkan budaya yang Islami pula.
BUDAYA JAWA ERA WALI SANGA
A. Apa dan Siapa Wali Sanga
Wali sanga berarti sembilan orang wali.
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Masing-
masing tokoh tersebut mempunyai peran yang
unik dalam penyebaran agama Islam. Mereka
tinggal di pantai utara jawa dari awal abad
15 hingga pertengahan abad ke-16 di tiga
wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-
Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria
di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Era wali sanga adalah era berakhirnya
dominasi Hindu-Budha dalam budaya
nusantara untuk digantikan dengan budaya
Islam. Mereka adalah simbolan penyebaran
Islam di Indonesia khususnya di Jawa.
Wali sanga adalah para penyebar agama
Islam di tanah jawa yang kemudian
diteruskan murid-muridnya ke seluruh
nusantara. Perjalanan para wali penuh
dengan kisah unik, ajaib dan menakjubkan.
Cara berdakwah, cara mengadakan
pendekatan dengan masyarakat sangat
diteladani. Sebagai orang-orang shaleh yang
mujahid, mereka memiliki sandaran dakwah
dari Rasulullah SAW. Terbukti mereka
melakukan as-siyasatul hakimah(siasat yang
bijak). Terhadap tokoh masyarakat yang keras
dan gigih menentang dakwah islamiyah para
wali menerapkan metode al-Mjadalah billati
hiya ahsan. Mereka diperlakukan secara
personal dan dihubungi secara istimewa,
langsung bertemu pribadi dengan pribadi
sambil diberikan keterangan, pemahaman dan
perenungan tentang Islam.
B. Perjuangan Budaya Jawa Wali Sanga
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy (Asmarakandi) diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh
awal abad 14. Maulana Malik Ibrahim kadang
juga disebut Syeh Magribi atau Kakek Bantal.
Ia bersaudara dengan Maulana Ishak ulama
terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah
dari Sunan Giri. Ibrahim dan Ishak adalah
anak dari Maulana Jumadil Kubro. Ia menikah
dengan putri raja dan mempunyai dua anak
yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid
Ali Murtadha alias Raden Santri. Tahun 1392
M Ibrahim hijrah ke pulau Jawa desa Sembalo
daerah Leran. Aktivitas pertamanya yaitu
berdagang dengan membuka warung yang
harganya murah. Sebagai tabib, ia mengobati
masyarakat dengan gratis. Kakek Bantal juga
mengajarkan bercocok tanam, serta
merangkul masyarakat bawah kasta yang
disisihkan agama Hindu. Selesai membangun
dan menata pondokan di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat, makamnya kini
terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa
Timur.
2. Sunan Ampel
Ia putra tertua Maulana Malik Ibrahim, yang
mempunyai nama kecil Raden Rahmat. Ia lahir
di Campa pada 1401 M. Tahun 1440 M,
sebelum ke Jawa mereka singgah dulu di
Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang,
ia melabuh ke daerah Gresik. Sunan Ampel
menikah dengan putri seorang adipati di
Tuban. Anaknya antara lain Sunan Bonang
dan Sunan Drajat. Ia membangun
mengembangkan pondok pesantren di daerah
yang di hadiahkan Raja Majapahit. Pada
pertengahan abad 15, pesantern tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh, diantara para santrinya yaitu
Sunan Giri dan Raden Patah. Sunan Ampel,
Sunan Gresik dan Sunan Majagung adalah
tiga serangkai. Sunan Ampel menganut fikih
mahzab Hanafi. Dia lah yang mengenalkan
istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe,
moh maling, moh madat, moh madon).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun
1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel, Surabaya. Sunan Ampel
adalah salah satu waratsatul anbiya’ yang
dipercaya oleh Alloh SWT. Beliau adalah
sosok ulama teladan sekaligus
waliyyunminauliyaillah, sosok sempurna
mendekati Nabi. Ia juga cendekiawan sejati
dan penuh perhitungan dalam melakukan
dakwahnya. Kemudian Kanjeng Sunan berhasil
mensejajarkan kaum Muslimin kala itu dengan
kalangan elite dalam kasta masyarakat dan
pemerintahan Majapahit. Pendekatan yang
dilakukan Sunan Ampel mengenai dakwahnya
yaitu dengan cara pembauran dan
pendekatan. Dengan metodologi yang beliau
tempuh, berhasil menciptakan harmoni antara
ulama dan umara.
3. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku alias
Muhammad Ainul Yakin, lahir di Blambangan
pada 1442 M. Sunan Giri kecil menuntut ilmu
di pesantern misalnya Sunan Ampel, tempat
dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat
berkelana ke Malaka dan Pasai. Kemudian ia
membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Giri Kedaton
tumbuh menjadi pusat politik yang penting di
Jawa waktu itu, dan Sunan Giri bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer
Kesultanan Demak. Giri Kedaton bertahan
hingga 200 tahun. Dalam keagamaan ia
dikenal karena pengetahuannya yang luas
dalam ilmu fikih, dan disebut Sultan Abdul
Fakih. Jelungan, jamuran, lir ilir dan cublak
suweng disebut kreasi Sunan Giri, demikian
pula dengan Gending Asmarandana dan
Pucung lagi bernuansa Jawa namun syarat
dengan ajaran Islam.
4. Sunan Bonang
Ia adalah anak Sunan Ampel berarti cucu
Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan
1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi
Ageng Manila. Mula-mula ia berdakwah di
Kedir yang mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Ia kemudian menetap di
Bonang desa kecil di Lasem dan membangun
tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama
Watu Layar. Ia juga terkenal sebagai imam
resmi pertama Kesultanan Demak, bahkan
sempat menjadi penglima tertinggi. Pada
1525 M ia meninggal, jenazahnya
dimakamkan di Tuban sebelah barat Masjid
Agung. Ajaran Sunan Bonang memadukan
ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan
garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih,
usuludin, tasawuf, seni, sastra, dan
arsitektur.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya
sastra berupa suluk atau tembang tamsil.
Sunan Bonang mengubah gamelan jawa yang
kental dengan nuansa Hindu menjadi nuansa
baru. Ia juga menjadi kreator gamelan jawa
dengan menambahkan instrumen bonang.
Tembang “tombo ati” adalah salah satu karya
Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah dalang
yang piawai membius penontonnya,
kegemarannya adalah mengubah lakon dan
memasukan tafsir khas Islam.
5. Sunan Kalijaga
Dialah wali yang namanya paling banyak
disebut masyarakat Jawa. Ayahnya bernama
Wilotikto, adipati Tuban dan ibunya Dewi
Sukowati serta mempunyai adik kandung
bernama Dewi Rasawulan. Nama kecil Sunan
Kalijaga adalah Raden Said. Ia yang paling
muda saat diangkat menjadi wali. Dia pun
memiliki ilmu yang tinggi dan usianya paling
panjang diantara wali lainnya, yaitu lahir
1455 M dan wafat tahun 1586 M atau usianya
mencapai 131 tahun. Dia dimakamkan di desa
Kadilangu, di tanah pemberian Raden Patah
karena permintaannya sendiri.
Semasa hidupnya dia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit, Kesultanan Demak,
Cirebon dan Banten bahkan kerajaan Pajang
serta kehadiran kerajaan Mataram di bawah
pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut
merancang pembangunan Masjid Cirebon dan
Demak. Paham keagamaannya cenderung
sufistik berbasis salaf, ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai ajang
dakwah. Ia sangat toleran dengan budaya
lokal, ia mendekati sambil mempengaruhi.
Selain itu, dia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Dia juga pencipta
baju takwa, perayaan sekaten, dan lainnya.
6. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah atau Syarif
Hidayatulloh diperkirakan lahir sekitar tahun
1448 M. Ibunya bernama Nyai Rara Santang
putri dari raja pajajaran, dan ayahnya
bernama Sultan Syarif Abdulloh Maulana
Huda pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim
dari Palestina. Ia mendirikan Kasultanan
Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati. Dengan demikian id adalah satu-
satunya wali yang memimpin pemerintahan,
hal ini dimanfaatkan untuk menyebarkan
ajaran Islam. Dalam berdakwah ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas, ia
juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan yang
menghubungkan antar wilayah. Pada tahun
1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dan
dimakamkan di bukit Sembung.
7. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim, nama
lengkapnya Raden Qosim Syariffudin Hasim,
ia anak Sunan Ampel. Ia lahir pada tahun
1470 M. Ia pertama kali melakukan dakwah
di pesisir Gresik, tapi satu tahun kemudian
dia mendirikan padepokan santri Dalem
Duwur yang sekarang Desa Drajat, Pacitan-
Lamongan. Gelar tertinggi yang diberikan
kepada Sunan Drajat adalah Sunan Mayong
Madu, karena setiap ucapannya sangat manis
dan enak didengar sehingga bisa
menyembuhkan segala penyakit lahir maupun
batin. Pusaka yang menjadi peninggalan
Sunan Drajat adalah gamelan yang dipakai
saat melakukan pengajian. Selain itu dia juga
mengubah seni suluk. Dia juga dikenal
seorang yang bersahaja dan suka menolong.
8. Sunan Kudus
Nama kecil Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan
Sunan Ngudung dan Syarifah. Sunan Kudus
terkenal sebagai penyiar agama Islam pada
masa Hindu di Jawa bagian utara. Maka
bangunan makamnya dan tatanan
lingkungannya masih berbau agama Hindu.
Seperti adanya Gapura Majapahit dan sebuah
menara yang mirip bangunan candi. Beliau
dari Persia dan masih keturunan ke-24 Rasul
Muhammad. Sunan Kudus meninggal pada
umur 63 tahun, meninggalkan pusaka dan
masjid yang belum jadi yang diberi nama
masjid Bubar, dan meninggalkan prasasti
menyerupai Lumpang dan Padhusan untuk
Wudhu. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Sunan Kudus juga mengubah cerita
ketauhidan, kisah tersebut disusunnya secara
berseri sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Selain itu, dia ikut
bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata bertempur
melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
9. Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh dengan Sunan Kalijaga.
Nama kecilnya Raden Prawoto, nama Muria
diambil dari tempat tinggal terakhirnya di
lereng Gunung Muria. Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh
dari pusat perkotaan untuk menyebarkan
agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata
sambil mengajarkan keterampilan bercocok
tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya. Sunan Muria sering kali
dijadikan sebagai penengah dalam konflik
internah di Kesultanan Demak, ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan
berbagai masalah betapapun rumitnya
masalah itu. Sunan Muria dimakamkan di
puncak gunung yang sepi. Sunan Muria selain
meninggalkan sebuah masjid, juga
meninggalkan beberapa tempat yang diyakini
mempunyai keampuhan diantaranya Sendang
Rejoso dan Gentong Karomah.
RELIGI ORANG JAWA
(Koentjaraningrat)
1. Agami jawi dan agami islam santri
Agama silam orang jawa yang bersifat
sinkretsi dan agama islam puritan
Religi dalam bab ini didasarkan pada
perbedaan antara agama islam jawa yang
sinkretis, yang menyatukanunsur pra-hindu,
hindu, dan islam, dan agama islam yang
puritan, atau yang mengikuti ajaran agama
yang lebih taat.
Orang jawa pada umumnya jika ditanya soal
agama , maka ia akan menjawab agama
mereka adalah islam. Walaupun demikian
sebagian dari mereka tidak melaksanakan
rukun islam seperti yang diwajibkan bagi
umat islam. Mereka cenderung mengabaikan
apa yang diwajibkan dan juga tidak mejauhi
apa yang diharamkan. Meski demikian bukan
berarti mereka tidak memikirkan agama,
justru sebenarnya agamlah yang banyak
menyita hidup mereka. Mereka percaya akan
adanya Allah, percaya bahwa Muhammad
adalah Nabi mereka dan lain-lain. Namun
selain percaya pad ahal hal tersebut, disisi
lain mereka juga yakin pada konsep-konsep
keagamaan yang lain, semisal percaya pada
mahluk-mahluk gaib, jurus-jurus sakti dan
mereka juga melakukan ritual-ritual yang
tidak ada diajaran agama islam. Mereka
digolongkan sebagai kaum yang memiliki
agam sendiri yaitu agami jawi.
Agami jawi atau kejawen adalah suatu
keyakinan dan konsep-konsep hindu-budha
yang cenderung kearah mistik, yang
tercampur menjadi satu dan diakui sebagai
agama islam. Varian dari kejawen adalah
agami islam santri, yang walaupun tidak sama
sekali bebas dari unsur animism dan unsur-
unsur hindu-budha, namun sedikit lebih dekat
pada dogma-dogma ajaran islam yang
sebenarnya.
2. System keyakinan agami jawi
System budaya agami jawi
Kejawen merupakan suatu tradisi yang
diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagian
penting yang juga terdapat dlam
kesusastraan yang dianggap kramat dan
bersifat moralis. Oleh karena itu untuk dapat
memahami agami jaw kita perlu mengetahui
tentang tradisi tertulis itu. Agami jawi dalam
melakukan berbagai kegiatan keagamaan
sehari-hari sangat dipengaruhi oleh keyakian,
konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-
nilai budaya dan norma-norma, yang
kebanyakan berada di dalam alam pikirnya.
Konsep agami jawi mengenai Tuhan Yang
Maha Esa
Keyakinan orang jawa yang beragama agami
jawi terhadap Tuhan sangat mendalam , para
penganut agami jawi di daerah pedesaan
mempunyai konsep yang sederhana yaitu
Tuhan adalah Sang Pencipta, dank arena itu
adalah penyebab dari segala kehidupan di
dunia, dan seluruh alam semesta.
Sumber yang paling utama mengenai Tuhan
pada agami jawi adalah buaku narwaci yang
ditulis pada permulaaan abad ke-17. Menurut
konsepsi agami jawi Tuhan adalah
keseluruhan dalam alam dunia ini ang
dilambangkan dengan mahluk yang sangat
kecil sehingga sewaktu-waktu dapat masuk ke
sanubari orang, tetapi Tuhan sekaligus besar
juga luas seperti samudera, tidak berujung
juga tidak berpangkal sepeti angkasa dan
terdiri dari semua warna yang ada didunia.
Kedua konsepsi ini memiliki perbedaan pokok
dengan pandangan islam orthodox yang
memiliki sifat monotheitis, yang menganggap
bahwa Tuhan adalah Maha Besar dan
Mahakuasa, dan orang hanya merupakan
mahluk yang tidak berarti jika dibandingkan
engan Tuhan.
Keyakinan agami jawi akan adanya Nabi
Muhammad dan Para Nabi Lainnya
Sistem keyakinan agami jawi memandang
Nabi Muhammad sangat dekat dengan Alloh.
Dalam hampir setiap ritus dan upacara,
seorang orang jawa mengucapkan nama Alloh
mereka mengucapkan nama Nabi Muhammad.
Selebihnya Nabi Muhammad kurang
mendapatkan perhatian dalam sistem
keyakinan Agami Jawi, kecuali pada perayaan
Mi’raj. Kesusastraan yang lebih disukai oleh
para penganut Agami Jawi adalah
kesusastraan Islam yang mengandung unsur
mistik yang persifat kepahlawanan dan cerita
peristiwa khusus dalam kehidupan Nabi
seperti mengenai kelahiran, pernikahannya
dengan Siti Khadijah, hijrah, perang dan
mengenai kenaikan Nabi Muhammad. Namun
bukan hanya orang santri saja yang mengenal
riwayat hidup Nabi, tetapi juga orang Agami
Jawi.
Keyakinan agami jawi kepada orang keramat
Agami jawi mengenal banyak sekali tokoh-
tokoh keramat. Yang masuk dalam kategori
tokoh-tokoh keamat ini antara lain guru-guru
agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah
historis, yag dikenal orang melalui
kesusastran babad.Contoh yang sangat
terkenal adalah wali songo (wali Sembilan),
tokoh penyebar agama islam yang bersifat
setengah historis. Selain Sembilan wali
tersebut tentu saja masih bayak tokoh
kermatlain yang sifatnya local. Seorang ahli
belanda, D.A Rinkes, telah telah membuat
satu deskripsi dari sejumlah tempat keramat
yang merupakan tempat pemujaan tokoh
keramat penduduk setempat. Deskripsi yang
berupa satu karangan panjang itu diterbitkan
dengan judul De Heiligen van Java.
Konsep agami jawi mengenai kosmogoni dan
kosmologi
Yang dimaksudkan disini adalah mitologi
penciptaan duniadan manusia atau kosmologi
agami jawi. Walau dalam agami jawi
terdapat beberapa cerita mite mengenai
penciptaan alam semesta, semuanya
mengandung unsure-unsur kosmologi hindu-
jawa dan keyakinan islam bahwa adam adalah
nabi pertama di dunia ini. Kedua hal itu
dijalin menjadi satu cerita tungal. Ada suatu
ciri lain dari mite jawa tentang penciptaan
alam, yait bahwa Tuhan atau dewa tidak
berhasil menciptakan manusia dalam
seketika, melainkan mengalami kegagalan
berkali-kali. Mahluk-mahluk penciptaan yang
gagalkemudain menjadi penghuni “dunia
jahat”. Berbagai konsepsi orang jawa
mengenai penciptaan alam semesta dapat
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu
mite-mite dengan unsure-unsur dominan
hindu-budha, mite-mite dengan unsur-unsur
sinkretik agami jawi dan islam, dan mite-mite
dengan unsure-unsur magis-mistik.
Mite-mite dengan unsur-unsur dominan
hindu-budha terdapat dalam buku babad
mengenai kerajan-kerajaan di jawa yang
sifatnya setengah historis, yang pada
umumnya dimulai dengan cerita mengenai
awal terciptanya dunia dan manusia. mite-
mite dengan unsure-unsur sinkretik agami
jawi dan islam terdapat dari bagian pertama
dalam buku-buku babad semi-historis lainya,
yang mungkin ditulis oleh pengarang-
pengarang yang lebih berorientasi islam
seperti buku serat anbya. Jenis mitologi
mengenai penciptaan dunia yang ketiga
menurut agami jawi adalah yang paling aneh,
terdapat dalam buku-buku suluk terutama
yang bersifat radikal magis-mistik, seperti
suluk gatholoco dan suluk darmagandhul.
Esyatalogi agami jawi
Sejak berabad-abad dalam pikiran orang jawa
pada umunya ada suatu keyakinan terpendam
mengenai adanya seorang ratu adil yang akan
tiba membawa keadilan dan keteraturan
didunia ini. Gagasan mengenai esyatologi
pada orang jawa merupakan sutu akibat dari
gaya hisup dan tata-cara sopan santun orang
jawa, yang sejak berabad-abad
mengutamakan pergaulan antar manusia yang
kelihatan baik dan rukun diluar, yang telah
terjalin dengan erat dan sempurna di
kehidupan sosialnya. Untuk hidup di dalam
kenyataan seperti it seseorang terpaksa harus
tersenyum walaupun menghadapi berbagai
problema dalam hisupnya, karena itu suatu
ketika orang-orang akan lari dari problema-
problema yang dihadapinya, baik kedalam
mistik yang penuh dengan spekulasi, yang
memungkinkan orang untuk membebaskan diri
dari beban berat berupa kewajiban-kewajiban
sosialnya, maupun kedalam alam khayal yang
mengimpikan suatu kehidupan masyarakat
yang serba teratur di masa yang akan datang.
Keyakinan Agami Jawi Akan Dewa-Dewa
Orang Jawa yang berasal dari keluarga-
keluarga desa maupun dari keluarga priyayi,
pada umumnya dapat menyebutkan macam-
macam nama dewa, lengkap dengan sifat-
sifat dan rupanya masing-masing. Dewa-dewa
itu dikenal dari cerita-cerita wayang, yang
mempunyai peran sebagai pelindung manusia.
Dalam mitologi Jawa ada bermacam-macam
dewa pria maupun wanita. Dalam bukunya
mengenai mahluk-mahluk halus orang Jawa,
ahli folklor H.A van Hien menyebutkan
adanya 750 nama dewa dan dewi yang
berasal dari mitologi Hindu dan 264 nama
dewa dan dewi yang asli dari Jawa yang
merupakan tokoh-tokoh dalam mitologi
agama Budha. Para Bathara dan dewi itu
sebenarnya tidak ada artinya dalam
kehidupan dan upacara keagamaan orang
Jawa, hanya penting dalam cerita wayang
saja, dan berfungsi sebagai unsur pendidikan
dan pelajaran moral.
Keyakinan Agami Jawi Kepada Kematian Dan
Alam Baka
Orang Jawa berkeyakinan bahwa tidak lama
setelah orang meninggal, jiwanya akan
berubah menjadi mahluk halus yang
berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya.
Mahluk halus itu lama-kelamaan akan pergi
pada saat tertentu saat keluarga
mengadakan slametan. Roh yang tidak
mendapat tempat di alam roh karena tingkah
lakunya yang tidak baik semasa hidup, dan
menjadi roh jahat pengganggu manusia, atau
karena orang itu meninggal tidak wajar.
Namun pengaruh agama Islam menciptakan
pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh
yang berada dekat Alloh, juga bahwa orang
yang meninggal oleh Alloh akan diberi tempat
di swarga atau neraka sesuai dengan
perilakunya yang baik atau buruk semasa
hidupnya. Agama Jawi tidak memiliki
gambaran yang nyata mengenai swarga atau
neraka. Gambaran orang Jawa ialah bahwa
sorga tidak berada di atas langit dan neraka
juga tidak berada di dasar bumi, sebaliknya
mereka membayangkan adanya hubungan
antara sorga dan neraka, dengan dunia baka
dan dengan arah selatan, yaitu Kerajaan
Bathara Yamadipati, penjaga kerajaan para
roh yang telah meninggal.
Mahluk halus yang masih memiliki keinginan
dari orang yang meninggal itu, dibimbing oleh
seorang malaikat (molekat) ke Kamaloka yang
dicapainya pada hari ketujuh setelah
meninggal. Tetapi sebelum diperkenankan
masuk pintu gerbang ia harus melewati
sebuah jembatan yaitu siratul mustakim, yang
terbuat dari sepertujuh belahan rambut
wanita. Di bawah jembaran ada kawah yang
gelap yang merupakan tempat menuju neraka.
Apabila mahluk halus itu terlalu berat karena
hasrat dan keinginannya terlalu banyak maka
ia akan jatuh ke dalam kawah dan masuk ke
neraka. Apabila terlalu banyak dosa, maka
mahluk halus itu akan terperosok lebih dalam
masuk ke bumi kapindho, dan dilahirkan lagi
sebagai binatang. Setelah itu, dia akan
berada ke bumi katelu dilahirkan kembali
sebagai tanaman, kemudian setelah mati lagi
dia akan berada di bumi kapat sebagai pohon
selanjutnya dia menghuni batu. Dan dia akan
dihukum lama pada bumi ketujuh, kemudian
dilahirkan lagi sebagai manusia yang
melupakan segala masa lampau dan
memperoleh kesempatan untuk lebih baik
lagi.
Orang meninggal yang telah hidup dengan
baik dan lingaseliranya berhasil masuk ke
Kamaloka, maka rohnya akan berada di sana
hingga 40 hari setelah meninggalnya. Setelah
itu memurnikan dirinya dan mempersiapkan
diri masuk ke surga pertama (dewakan) pada
hari ke-100 setelah meninggal. Kemudian
lingeseliranya akan mati kedua kalinya.
Apabila ada kerabat yang masih hidup di
dunia dan memanggilnya maka mahluk halus
itu menjadi lelembut dan berkeliaran di
sekitar tempat tinggal manusia atau menjadi
roh nenek moyang (arwah leluhur). Roh yang
berhasil ke surga pertama akan menjadi lebih
murni pada hari ke-1000 setelah meninggal
masuk pada surga kedua. Proses ini terjadi
berulang-ulang sehingga ia akan masuk surga
ke tujuh dan mencapai moksa yaitu keadaan
sempurna.
Roh Nenek Moyang Dan Roh Penjaga
Sebagai roh halus, roh nenek moyang masih
lama akan dipuja dan dipanggil oleh para
keturunannya untuk memberi nasehat kepada
mereka mengenai persoalan rohaniyah
maupun material. Sistem keyakinan Agami
Jawi mengenal roh-roh baik yaitu dhayang,
bahureksa, sing ngemong dan widadari.
Dhayang adalah roh yang menjaga dan
mengawasi seluruh masyarakat, bahureksa
adalah penjaga tempat-tempat tertentu,
seperti bangunan umum, sumur tua, pohon
beringin tua, sebuah gua dan sebagainya.
Sing ngemong adalah roh yang menjaga
kesejahteraan seseorang dan dipandang
seseorang sebagai saudara kembar dari jiwa
seseorang, widadari atau bidadari
dibayangkan oleh orang Jawa sebagai gadis
cantik yang tempatnya di langit dan yang
hanya berbuat baik kepada manusia. Namun
ada juga roh baik yang menuntut balas budi
atas pertolongan dan keuntungan yang telah
diberikan kepada manusia, misal thuyul.
Thuyul digambarkan sebagai anak kecil/kerdil
yang mampu membuat orang kaya dengan
jalan mencurikan harta orang lain baginya.
Tetapi sebagai imbalan thuyul harus diberi
sesaji dan orang yang memiliki thuyul itu
harus merelakan jika sewaktu-waktu
kehilangan anggota keluarganya.
Roh, Jin, Setan Dan Raksasa
Mahluk-mahluk ini pada umumnya dianggap
jahat, dan oleh orang Jawa disebut memedi.
Secara khusus mereka disebut setan atau
dhemit, sedangkan raksasa disebut denawa
(Krami) atau buta (Ngoko). Orang Jawa pada
umumnya sependapat bahwa setan dharat,
setan bisu, setan mbelis dan sebagainya
adalah setan-setan berjenis pria dan bermuka
buruk, sedangkan wewe adalah setan wanita
yang sangat jelek sekali. Tetapi ada setan-
setan yang cantik rupawan seperti misalnya
kuntilanak, yang menampakan dirinya di
jalan-jalan sunyi di malam hari untuk mencari
mangsanya, sundhel bolong merupakan
seorang wanita tunasusila yang cantik tetapi
yang ternyata berlubang punggungnya. Ada
setan yang menyerupai anak kecil/kerdil yaitu
thuyul atau setan gundul. Ada juga setan
yang berparas manusia dan bertubuh
setengah manusia setengah binatang, seperti
peri (wanita dengan kaki kuda), Nyai Blorong
(wanita dengan tubuh bagian atas seperti
manusia dan bagian bawah seperti ular), Ki
Blorong (pria dengan tubuh bagian atas
seperti manusia dan bagian bawah seperti
ular). Setan juga dikenal di Eropa seperti
jerangkong, thekthekan, wedon dan
sebagainya.
Orang Jawa percaya bahwa setan dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui ubun-
ubunnya atau telapak kakinya, sehingga orang
itu menjadi kesurupan, dan hanya dapat
disembuhkan oleh seorang dhukun
prewangan, seorang syaman, atau seorang
dukun biasa. Oleh karena itu dapat dihindari
dengan melakukan latihan jasmani dan
kesenian dan menghindari untuk duduk
termenung dan melamun.
Keyakinan Agami Jawi Kepada Kesaktian
Hanya orang yang kuat jasmani dan
rohaninya saja yang dianggap mampu
memiliki kasekten. Kesaktian itu dapat berada
di bagian tertentu dari tubuh manusia atau
pada tubuh binatang. Namun, pada umumnya
kasekten berada pada benda-benda suci
terutama benda-benda pusaka misalnya keris
sakti. Tetapi, orang Jawa juga memuja
benda-benda pusaka lain yang dianggap sakti
antara lain tombak, bendera tua, panah atau
alat gamelan. Kekuatan kasekten yang
dianggap ada dalam benda pusaka sering kali
digunakan oleh para pemiliknya untuk
menghalau penyakit dan malapetaka.
Kasekten tidak hanya dianggap ada dalam
pusaka, tetapi juga di dalam jimat-jimat kecil
yang sampai sekarang pun masih banyak
dipakai oleh pria atau wanita untuk
melindungi diri dari penyakit atau bahaya-
bahaya gaib.
3. Sistem Upacara Agami Jawi
Tindakan-Tindakan Keagamaan
Kita dapat membedakan adanya berbagai
tindakan keagamaan dalam sistem sosial
Agami Jawi. Upacara terpenting adalah
upacara makan bersama, yang dalam bahasa
disebut wilujengan (Krami) atau slametan
(Ngoko). Berikut berbagai ritus dan upacara
keagamaaan yang mengandung tingkah laku
keagamaan.
Slametan Atau Wilujengan
Slametan atau wilujengan adalah suatu
upacara pokok atau unsur terpenting dari
hampir semua ritus dan upacara dalam
sistem religi orang Jawa pada umumnya dan
penganut Agami Jawi khususnya. Salah satu
aktivitas keagamaan penting lain dalam
sistem religi Agami Jawi yaitu kunjungan ke
makam nenek moyang yang disebut nyekar.
Suatu slametan biasanya diadakan di rumah
keluarga dan dihadiri keluarga, kerabat dan
tetangga. Slametan biasanya diadakan pada
malam hari. Para tamu duduk di atas tikar
dan di tengah-tengahnya diletakkan dua atau
tiga buah tampah berisi hidangan slametan
berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauk
pauk dan hiasannya.
Setelah semuanya siap, modin atau kaum
diminta untuk mempersilahkan doa (ndonga)
yang terdiri dari ayat-ayat Al Qur’an. Selesai
mengucapkan maka modin dipersilahkan oleh
tuan rumah untuk mulai menyantap hidangan
disusul para tamu. Upacara slametan sering
kali dilanjutkan dengan dhikir mengucapkan
“La‘illaha Illallah” secara berulang-ulang.
Geertz menjelaskan bahwa slametan tidak
hanya diadakan dengan maksud untuk
memelihara solidaritas antara para peserta
upacara, dan setiap upacara itu bersifat
religi. Padahal tidak semua slametan bersifat
religi.
Slametan bersifat keramat adalah upacara
slametan di mana orang-orang yang
mengadakannya merasakan getaran emosi
kramat. Upacara slametan yang tidak bersifat
keagamaan adalah upacara yang tidak
menimbulkan getaran emosi keagamaan bagi
para tamunya, hanya bertujuan memelihara
solidaritas sosial. Upacara slametan yang
benar-benar bersifat ketamat dan
menggetarkan emosi keagamaan seseorang
misalnya upacara kematian. Upacara
slametan yang bersifat keramat melibatkan
semua warga desa adalah upacara bersih
dusun. Upacara keramat pada hari besar
agama Islam misalnya Bakda besar, Saparan,
Dina Wekasan Muludan, dan lainnya. Upacara
slametan yang bersifat keramat dari individu
adalah ngruwat, dan yang tidak keramat
misalnya penyerahan mas kawin, pindah
rumah, memasuki rumah baru, ganti nama
dan lainnya. Hal ini bertujuan untuk
pemberitahuan kepada handai-taulan.
Upacara-Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup
Kebudayaan Jawi dan Santri juga memiliki
serangkaian upacara sendiri untuk merayakan
berbagai peristiwa penting sepanjang
lingkaran hidup individu, yang merupakan
bentuk tertua dari semua aktivitas
keagamaan dalam kebudayaan manusia,
walaupun demikian upacara tersebut sudah
pasti sangat penting dan mutlak perlu dalam
banyak agama dan terutama dalam sistem
Agami Jawi.
Tingkeban
Lingkaran ritus-ritus sudah dimulai sejak
seorang individu berada dalam rahim ibunya.
Upacara pertama dinamakan tingkeban
diadakan saat kandungan berumur tujuh
bulan yang dinamakan slametan mitoni.
Hidangan slametan yang disajikan itu tujuh
buah nasi tumpeng, lauk-pauk, dan tujuh
macam juadah, harus mempunyai makna yang
melambangkan kelahiran yang cepat dan
selamat. Misalnya diantara ketujuh juadah
tersebut ada yang namanya jenang procot
yang maksudnya agar bayi kelak akan lahir
dengan mudah, (procot= keluar tak
terkendali). Mitoni juga harus dilakukan pada
hari Setu Wage (Sabtu Wage) dalam bulan
ketujuh umur kandungan yang artinya metu
age atau lekas keluar.
Sejak diadakan upacara mitoni, calon ibu
harus mematuhi berbagai syarat dan
pantangan seperti mencuci rambutnya
seminggu sekali dengan air merang yang
sudah diberi kekuatan gaib. Larangannya
antara lain memakan telur ayam, udang, buah
yang letak bijinya melintang. Calon ayah pun
harus memperhatikan pantangan tersebut.
Dalam bulan kesembilan, diadakan slametan
lagi yaitu mumuli sedherek untuk
menghormati saudara yang belum lahir.
Melahirkan
Apabila di daerahnya tidak ada seorang
bidan, keluarga tiyang tani di desa biasanya
memanggil seorang dhukun bayi, adalah
orang yang ahli dalam membantu persalinan,
yang sebelumnya telah melakukan berbagai
upacara. Setelah bayi lahir, dhukun
memotong tali pusat dengan sebilah pisau
atau bambu sambil mengucapkan mantera.
Kemudian, ayahnya harus membisikan ayan ke
telinga kanan bayi dan kamat ke telinga
kirinya. Selanjutnya dukun memandikan
wanita yang baru melahirkan dan memijat
dibalur ramuan parem dan bobokan dan
meminum jamu. Sementara ari-ari dibersihkan
oleh dhukun dan dimasukan ke dalam bejana
yang terbuat dari tanah liat. Ari-ari yang
menyusul kelahiran anak laki-laki dibuang ke
kali atau dikubur di halaman belakang,
sedangkan apabila bayinya perempuan, ari-
arinya selalu dikubur di halaman belakang
rumah sebelah kanan. Upacara puput puser
diadakan pada malam hari setelah tali puser
terlepas, dengan mengadakan berbagai ritual.
Tali pusat yang telah terlepas dan menjadi
kering dibungkus kain bersama rempah-
rempah, dijahit dan menjadi jimat.
Upacara Memberi Nama
Pada hari kelahiran bayi diadakan slametan
pemberian nama atau slametan brokohan.
Upacara ini dilakukan pada hari ketujuh
setelah bayi dilahirkan.
Upacara Kekah Dan Upacara Pemotongan
Rambut
Orang santri yang taat menjalankan ajaran
Islam mengadakan suatu upacara berkorban
pada hari ketujuh kelahiran bayi yaitu upacara
kekah, sekaligus pemberian nama. Semua
rambut di kepala dicukur, kecuali dibagian
ubun-ubun. Penganut Agami Jawi juga
mengadakan upacara kekah, tetapi dengan
upacara pemotongan rambut sebagai unsur
yang utama, bukan unsur berkorbannya.
Kemudian diadakan upacara nyepasari.
Banyak hidangan yang disediakan,
menandakan upacara ini penting. Orang Jawa
percaya apabila ada kekurangan dalam jumlah
macam atau hidangan maka akan
berpengaruh pada kepribadian anaknya.
Selanjutnya ada upacara lain yang tidak kalah
pentingnya, yaitu nyelapani, yang diadakan
saat bayi berumur 35 hari jatuh pada hari
weton pertama. Baik para penganut Agami
Jawi yakin bahwa tidak baik apabila dalam
satu keluarga ada orang yang sama
wetonnya.
Tedhak Siten, Atau Upacara Menyentuh Tanah
Upacara yang disebut tedhak siten ini
dianggap penting oleh para penganut Agama
Jawi di desa maupun dikota, dan merayakan
peristiwa sentuhan pertama dengan tanah.
Upacara yang selalu diadakan pada pagi hari
ini menggunakan berbagai benda, yaitu
sebuah karungan ayam, sebuah tampah
dengan nasi kuning, dan beberapa mata
uang. Kecuali itu ada tujuh buah tampah yang
masing-masing berisi sebuah tumpeng dan
tujuh buah tampah yang masing-masing berisi
juadah dengan warna yang berbeda-beda.
Ketujuh tampah ini disusun menuju kesebuh
tangga kecil yang terbuat dari batang tebu.
Selain itu, masih ada sejumlah sajian yang
terdiri dari berbagai macam buah-buahan,
sayuran, rempah-rempah, kue dan juadah.
Upacara ini biasanya ditontong oleh seluruh
keluarga, beberapa orang tetangga terdekat,
dan anak-anak kecil yang tinggal berdekatan.
Nenek dari pihak ibunya biasanya
menggendong si bayi dan memasukkannya ke
dalam kurungan. Di dalam kurungan itu anak
kecil yang sudah memperhatikan hal-hal
disekelilingnya, akan memngamati nasi
kuning mata uang yang ada di dekatnya, yang
semua melambangkan kemakmuran. Setelah
beberapa saat berada di dalam kurungan,
bayi dikeluarkan dan secara bergantian para
anggota keluarga membimbingnya berjalan
diatas ketujuh tampah berisi tumpeng dan
berisi juadah hingga ia sampai ketangga yang
terbuat dari batang tebu. Bayi kemudian
dituntun menaiki tangga hingga sampai anak
tangga yang ketujuh dan yang tertinggi.
Setelah upacara ini, neneknya mencuci kaki
bayi dengan air bunga (toya setaman) lalu
meletakkannya di tanah. Acara yang terakhir
ini merupakan puncak dan tujuan dari seluruh
dari seluruh upacara tedhak siten itu. Pada
akhir upacara, biasanya kakek bayi
menaburkan uang logam diantara orang-
orang yang hadir, yang nantinya akan
dipungut. Hanya keluarga yang mengadakan
upacara itu saja yang masih sibuk dengan
persiapan untuk slametan yang akan diadakan
pada siang atau malam harinya. Dalam
kehidupan berjuta-juta orang jawa, tanah
merupakan suatu hal yang teramat penting,
dan kontak pertama dengan tanah itu
merupakan langkah yang pertama kedalam
kebudayaan pertanian Jawa tradisional.
Khitanan
Upacara penting berikutnya dalam lingkaran
hidup orang jawa adalah upacara khitanan.
Orang Jawa pada umumnya menganggap
khitanan sebagai suatu upacara untuk
meresmikan diri masuk Islam, dan dalam
buku hukum dari ajaran Shafi’, khitanan
(sunatan) itu memang dianggap wajib dan
karena itu upacara itu seringkali juga disebut
ngislamaken yang berarti “mengislamkan”.
Pada keluarga santri yang sebanyak mungkin
berusaha mengikuti peraturan hukum agama,
melakukan upacara itu pada hari-hari yang
ditentukan dalam hukum Islam, yaitu
misalnya pada hati keempat puluh setelah
lahir. Upacara sunatan dapat juga dilakukan
pada waktu seorang anak pri berumur empat
sampai tujuh tahun, akan tetapi keluarga
Agami Jawi menghubungkan sunatan dengan
umur akil baliq, disamping sebagai peresmian
masuk Islam dan karena itu mengadakannya
pada waktu seorang anak pria berumur
antara 10 dan 16 tahun. Anak pria yang
sudah dikhitan dinamakan jaka. Setelah
melakukan khitan, siang harinya diadakan
slametan yang dinamakan slametan jenang
abrit.
Upacara yang sama untuk anak wanita adalah
upacara kafad yang sebenarnya hanya
merupakan suatu upacara lambang saja,
karena pada diri anak itu tidak dilakukan
mutilasi pada alat kelaminya. Upacara ini
dilakukan setelah seorang anak gadis
mendapat haid pertamanya. Di dalam
keluarga-keluarga santri, khitanan bagi anak-
anak gadis merupakan hal yang wajib, sesuai
dengan hukum Islam.
Pemakaman Dan Ritus Kematian
Apabila ada orang meninggal, maka hal
pertama yang dilakukan oleh orang Jawa
adalah untuk memanggil seorang modin, dan
mengumumkan kematian itu kepada sanak
saudara dan tetangga. Sekarang orang lebih
sering pergi ke dokter atau ke Puskesmas
terdahulu dan baru kemudian mencari modin
serta memberi kabar kepada orang-orang
sekitarnya. Setelah itu dilakukan tata urut
upacara pemakaman, mulai dari memandikan
jenazah sampai memakamkannya.
Orang Jawa tidak diperbolehkan menangisi
kematian seorang anggota keluarga secara
berlebih-lebihan, dan sebaliknya harus
bersikap ikhlas melepas kepergiannya dan
menerima nasibnya dengan tawakal.
Setelah melakukan prosesi pemakaman, pada
malam harinya para keluarga melakukan
slametan sedhekah ngesur siti dengan
mengundang semua orang yang telah
memberikan bantuan serta sumbangan berupa
apapun juga. Tumpeng untuk slametan
sedhekah ngesur siti harus dilengkapi dengan
kue apem. Pada setiap slametan yang
diadakan untuk memperingati arwah orang
yang sudah meninggal dilakukan dzikir.
Hingga empat puluh hari lamanya, dibawah
tempat tidur orang yang meninggal diletakkan
sajian yang diganti dua hari sekali. Sedhekah
yang diadakan berhubung dengan kematian,
juga diselenggarakan pada hari ketiga
(sedhekah nigang ndinteni), hari
keempatpuluh (sedhekah ngawandasa
dinten), hari keseratus (sedhekah nyatus),
peringatan setahun meninggalnya (sedhekah
mendhak sepisan), peringatan dua tahun
(sedhekah mendhak kaping kalih) serta hari
keseribu (sedhekah nyewu). Bila yang
meninggal anak kecil, sedhekah hanya
dilakukan satu kali saja yaitu sedhekah
ngesah.
Setelah peringatan hari keseribu, maka
sedhekah yang diadakan oleh para kerabat
orang yang meniggal merupakan kewajiban
yang terakhir yang harus dipenuhi. Sementara
itu sisa-sisa terakhir dari ikatan-ikatan dari
ikatan-ikatan emosional dan spiritual yang
mungkin masih ada, juga dianggap telah
habis. Walaupun demikian banyak keluarga
Jawa penganut Agami Jawi masih tetap
mengunjungi makam nenek moyang mereka
pada kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu
disebut nyekar.
Nyekar, Adat Untuk Mengunjungi Makam
Pada tahun pertama setelah seorang anggota
keluarga meninggal dan ikatan-ikatan
emosional dengan orang tersebut masih kuat,
maka frekuensi mengunjungi makamnya
masih tinggi. Adanya larangan untuk
memperbaiki makam sebelum kuburan itu
berumur tiga tahun, yaitu sebelum hari
keseribu (nyewu). Baru setelah itu makam
boleh diperbaiki degan memasang batu nisan
(kijing) dan kadang-kadang dengan membuat
pagar besi disekeliling makam. Namun hal ini
dapat berbeda-beda diberbagai tempat.
Makin lama setelah orang meninggal, makin
jarang pula makamnya dikunjungi oleh sanak
saudaranya, biasanya hanya ramai sebelum
bulan Puasa. Dalam masyarakat desa orang
masih menganggap perlu untuk mengunjungi
makam para pendiri desa pada waktu
diadakan upacara bersih dhusun, dan
mengunjungi makam-makam nenek moyang
dan makam-makam keluarga lainnya.
Upacara Berkorban Sesajen
Upacara berkorban sesajen memang ada
dalam tiap upacara orang Jawa, dan orang
bahkan membuat sesajen tanpa suatu
upacara pun. Orang-orang desa selalu
meletakkan sesajen disudut-sudut petak
sawah pada saat-saat kritis dalam siklus
pertanian, para keluarga petani di desa
maupun orang kota meletakkannya diberbagai
tempat disekitar rumah di halaman dan
dipersimpangan jalan, pada tiap hari kemis
malam (jemuwah).
Ahli antropologi Belanda, J.van Baal, secara
tepat juga mengemukakan bahwa suatu
sedekah adalah suatu pemberian dan bahwa
suatu pemberian terutama merupakan cara
untuk mengadakan komunikasi simbolis dan
untuk berpartisipasi dalam kehidupan serta
pekerjaa dari orang yang diberi, dan bukan
hanya merupakan cara untuk memuaskan
kebutuhan fisik seseorang untuk “menyuap”
atau mengembalikan suatu jasa. Oelh karena
itu sebagai suatu pemberian sedhekah
merupakan suatu alat untuk berkomunikasi
secara simbolik dengan makhluk-makhluk
halus didunia gaib. Dengan demikian setiap
benda yang diletakkan ditampah itu harus
dianggap sebagai benda-benda yang
dipergunakan sebagai alat untuk tujuan
tersebut tadi.
Perayaan-Perayaan Upacara Tahunan
Banyak dari perayaan Islam diselenggarakan
di Jawa dengan slametan yang berbeda-beda
untuk tiap peristiwa dan dengan berbagai
sajian yang berdeda pula. Hari besar Islam
yang pertama jatuh pada tanggal 10 sura,
yaitu bulan pertama dari perhitungan tahun
Islam. Para penganut Agami Jawi cukup
merayakannya dengan membuat bubur Sura.
Santri merayakannya dnegan berpuasa pada
malam hari menjelang tanggal 10 Sura
tersebut.
Bulan yang kedua yaitu Sapar, berlalu tanpa
ada kegiatan upacara keagamaan, kecuali
pada hari Rabu yang terakhir, yaitu Rebo
Wekasan, yang dirayakan khusus oleh para
penganut Agami Jawi di dalam suasana riang
gembira.
Pada tanggal 12 bulan Maulud orang
memperingati hari wafat dan hari lahirnya
Nabi Muhammad. Baik para penduduk desa
maupun para priyayi di kota-kota yang
menganut Agama Jawi, mengadakan slametan
sekitar tanggal 12 Mulud. Hidangan utama
pada perayaan Muludan itu adalah tumpeng
dengan ayam yang dimasak dengan bumbu-
bumbu dalam keadaan yang utuh (dibuang
bulunya dan dibersihkan isi perutnya).
Orang santri tidak merayakan hari ke-12
bulan Rabi’ul-awwal itu dengan mengadakan
slametan, melainkan menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan yang disebut
selawatan.Upacara berikutnya yaitu pada
tanggal 7 Rejeb untuk memperingati kenaikan
Nabi Muhammad ke surga. Pada perayaan ini
diadakan suatu slametan yang dinamakan
Rejeban atau Mi’radan.
Pada tanggal 15 Ruwah pada peringatan
Nipsu Sa’ban atau Lailatul ‘Inishf min
Sya’ban, yaitu suatu saat di malam hari
ketika Allah menentukan siapa yang akan
meninggal dalam tahun ini. Para penganut
Agami Jawi mengadakan suatu slametan,
yaitu slametan barokhah dan berjaga sampai
lewat tengah malam. Orang santri biasanya
pergi ke masjid untuk membaca ayat-ayat
suci sampai larut malam.
Pada tanggal 29 Ruwah adalah hari terakhir
sebelum puasa. Biasanya akan banyak orang
santri yang nyekar ke makam-makam. Orang
Agami Jawi juga mengadakan slametan
sederhana pada tanggal 21, 23, 25, 27, dan
29 dalam bulan Puasa, yang dinamakan puasa
maleman.Pada tanggal7 syawal diadakan
slametan yang dianggap masih ada
hubungannya dengan berakhirnya masa
puasa, yaitu slametan kupatan. Hari besar
berikutnya adalah pada waktu para jemaah di
Mekkah mengadakan upacara kurban
diperingati pada tanggal 10 Besar.
Siyam, Atau Puasa
Orang Agami Jawi pada umumnya
menjalankan ibadah puasa, walaupun mereka
sering kali tidak begitu taat menjalankan
rukun agama Islam yang lain-lainya. Kecuali
berpuasa pada bulan Ramadhan, mereka juga
mempunyai adat berpuasa pada hari Senin
dan Kamis, suatu hal yang menurut agama
Islam tidak diwajibkan. Adat puasa pada hari
tertentu itu asal mulanya adalah tirakat.
Tirakat
Orangjawa pada umumnya dengan sengaja
mencari kesukaran dan kesengsaraan untuk
maksud-maksud keagamaan, yang berakar
dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu
dapat membuat orang teguh imannya dan
mampu mengatasi kesukaran-kesukaran,
kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya.
Mereka juga percaya bahwa orang yang telah
melakukan usaha semacam itu kelak akan
mendapat pahala. Tirakat dapat dijalankan
pada saat-saat khusus, misal padawaktu
orang menghadapi suatu tugas berat, waktu
mengalami krisis dalam keluarga, jabatan,
atau dalam hubungan dengan orang lain,
tetapi dapat juga pada waktu terkena
bencana. Dalam keadaan seperti itu,
melakukan tirakan dapat dianggap sebagai
tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh
orang Jawa bila seseorang dalam keadaan
bahaya.
Bertapa (Tapabrata)
Selama berabad-abad para pertapa dianggap
sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa
dengan menjalankan kehidupan yang ketat
dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan
hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-
tujuan yang sangat penting.
Pada zaman sekarangorang melakukan tapa
dengan maksud mendapatkan kedudukan yang
baik atau bernasib baik di dalam kehidupan
di akhirat kelak, dan tidak hanya dengan
tujuan untuk mencapai suatu maksud tertentu
dalam hidupnya sekarang. Oleh karena itu,
tapa semacam ini mirip dengan tapas pada
orang Hindu dahulu. Namun sering terjadi
bahwa orang melakukan tapabrata
bersamaan dengan samadi dengan maksud
untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan
dari tapa semacam ini untuk mendapatkan
kenikmatan keduniawian. Akhirnya perlu
disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa
merupakan salah satu cara yang penting dan
utama untuk bersatu dengan Tuhan.
Meditasi Atau Semedi
Meditasi atau samedi memang biasanya
dilakukan bersama-sama dengan tapabrata.
Orang yang melakukan tapa ngeli misalnya,
tidak hanya dududk diatas rakitnya saja
sambil mbengong, tidak berbuat apa-apa, ia
biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya,
meditasi seringkali juga dijalankan
bersamaan dengan suatu tindakan
keagamaan lain, misal dengan berpuasa atau
tirakatan. Maksud yang ingin dicapai dengan
meditasi itu ada bermacam-macam, namun
banyak orang melakukan meditasi untuk
memperoleh kesaktian, disamping itu
menyatukan diri dengan Tuhan.
Bersih Dhusun
Bersih dhusun dilakukan sekali dalam setahun
yaitu biasanya dalam bulan Sela yakni bulan
yang ke-11 dalam tanggalan Jawa. Walaupun
demikian tanggal dilakukannya berbeda-beda
di tiap desa. Kegiatan yang biasanya
berhubungan dengan bersih dhusun
berlangsung disuatu tempat dekat makam
pendiri desa atau di rumah kepala desa,
apabila tempat makam pendiri desa tidak
cocok untuk mengadakan acara tersebut.
Perayaan bersih dhusun dengan sendirinya
juga diadakan suatu slametan yang
dinamakan dengan sedekah bumi atau
sedekah legana, dengan sebuah nasi tumpeng
dan lauk pauknya yang disumbangkan oleh
para keluarga yang mampu.
Ngruwat
Upacara ngruwat merupakan suatu upacara
yang khas Agami Jawi dan dimaksudkan untuk
melindungi anak-anak terhadap bahaya-
bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh
Bathara Kala, yakni Dewa Kehancuran.
Upacara ngruwat juga perlu diadakan bila
terjadi hal-hal yang dianggap dapat
menyebabkan keadaan bahaya.
Apabila orang memutuskan untuk
mengadakan suatu upacara ngruwat, maka
seorang dukun petangan diminta
pertolongannya untuk memilihkan hari yang
baik untuk upacara itu. Malam hari sebelum
upacara diadakan adalah malem anggara
kasih atau malam kebahagiaan.
Petugas Keagamaan Agami Jawi
Orang yang memerankan peranan penting
dalam suatu slametan yaitu upacara pokonya
adalah modin atau kaum. Seorang modin atau
kaum adalah seorang petugas masjid yang
sebenarnya seorang santri dalam masyarakat
Jawa. Orang yang memimpin upacara ijab
dalam pernikahan orang Jawa Agama Jawi
adalah seorang penghulu yang juga seorang
petugas masjid, dan karena itu juga seorang
santri. Agama Jawi juga mempunyai guru-
guru yang menunjukkan jalan ke arah
kemurnian jiwa atau yang memberi
penerangan spiritual. Guru-guru ini disebut
kyai atau guru. Akhirnya masih ada sang
dhalan yang selain seniman juga dapat
berfungsi sebagai pemuka agama.
4. Sistem Keyakinan Orang Islam Santri
Ajaran Agama Islam Orang Jawa
Agama orang santri selama empt abad
terakhir ini paling sedikit telah mengalami
perubhan dua kali. Yang pertama terjadi
ketika keturunan para penganut agama islam
yang berhaluan mistik dari abad ke - 16 dn ke
– 17 mendapat pengaruh langsung dari islam
ortodox di negara asalya, yaitu Mekah.
Kedua, terjadi pada abad ke – 19 ketika para
mahasiswa jawa belajar ilmu theologi di
Mesir terpengaruh oleh gerakan reformis
Wahhabiya dan oleh ajaran – ajaran
Muhammad Abduh. Mereka membawa agama
islam puritan yang reformis.
Keyakinan Terhadap Allah
Orang sntri di kota maupun di kota sangat
menggantungkn diri kepada “kehendak Tuhn”,
yakni suatu tema yang diambil dari tawhid,
atau ke-Esaan Allah, seperti yang tertulis
dalam ayat Qur’an. Allah adalah Al – Wahid,
dan Tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha
illallah), bahwa Allah adalah yang benar dan
nyata (Al Haqq)serta yang menurunkan
qur’an. Ereka jug yakin bahwa Allah adalah
Sang Maha Pencipta atau Al Khaliq serta raja
kehidupan dan kematian, atau Al Malikdan
Allah dalah hakim tertinggi, atau Khiru ‘l
Hakim.
Sifat Tuhan sangat berbeda dari sifat
manusia, atau dinyatakan dengan istilah Al
Ghaib. Meskipun demikian, bagi manusia Ia
adalah Yang Mha Pemurah dan Penyayang,
atau Ar-Rahman ‘ir-Rahim. Ia menyatakan
kehendakNya kepad manusia melalui para
nabi yang diturunkanNya diantata ras – ras
tertentu, pada waktu yang berlainan. Ajaran –
ajaran yng orthodox terutama sistem
keyakinan agama islam di Indonesia, telah
mempelajari secara sangat meluas
keduapuluh sifat Allah, yaitu yang disebut
sipat kalihdsaningi Gusti Allah.
Nabi Muhammad dan Para Nabi Lain
Sesuai dengan ajaran agama islam, orang
santri mengakui adanya semua nabi seperti
yang disebut dalam Qur’an dan yakin bahwa
Allah menyatakan kehendakNya kepada setiap
manusia di dunia melalui perantara nabi –
nabi tersebut. Orang santri bahkn mengakui
Buddha sebagai seorang nabi, walaupun tidak
disebut dalam Qur’an. Walaupun demikian,
mereka yakin bhwa nabi Muhammad lah yang
membawa perintah yang paling sempurna dan
yang terakhir dari Allah.
Berbeda dengan penganut agama Nasrani,
orang islam percaya bahwa para nabi,
termasuk nabi Muhammad adalah manusia
biasa yang tidk memiliki sifak kedewaan
maupun kekuatan gaib, kecuali untuk
meneruskan kata – kata Allah kepada umat
manusia. Karena ajaran mereka
mengharuskan agar orang isla yang baik tidak
menyembah siapapun kecuali Allah. Maka
pada umumnya orang santri jawa tidak
menyembah nabi karena tidak dianggap
sebagai orang keramat. Hanya pada hari –
hari tertentu saja memperingati beberapa
peristiwa penting dalam kehidupan nabi dan
ajaran islam cenderung untuk membiarkan
tokoh Nabi Muhammad tetap abstrak, dengan
melarang orang untuk melukis wajahnya.
Khalaq, Ciptaan Allah. Qur’an menyebutkan
bahwa Allah dalah Pencipta dari segala hal di
dunia; namaNya sebagai Al-Khaliq,
kegiatanNya menciptakan, atau khalq, dan
kata – kata khalaqa dan khalaqna dap tat
dijumpai dalam kitab suci. Konon, sebelum
menciptakan bumi, Allah berada dilangit;
didalam kegelapan ia menciptkan bumi dahulu
dalam waktu dua hari, kemudian segala
sesuatu yang ada di bumi dicitakannya daam
dua hari kemudian. Akhirnya dalam dua hari
berikutnya lagi Ia menciptakan ketujuh surga.
Pabila bumi dan surga – surga itu
diciptakannya dri kehampaan, maka manusia
diciptakan dari rangkaian pusaran debu, dari
tanah liat, setetes air mani, segumpal darah,
segumpal jaringan tubuh, dan tulang yang
kesemuanya dibungkus oleh kulit.
Alah menciptakan mahluk dan benda – benda
yang tidak ada persamaan nya denganNya,
begitulah kebesaran Allah. Jika dibandingkan
dengan Allah, manusia begitu kecil dan tidak
berarti. Namun dalam ayat lain disebutkan,
setelah Allah membentuk mnusi, Allah
meniupkan jiwaNya kedalannya, dan
memerintahkan pada malaikat untuk bersujud
kepadaNya. Semua malaikat menuruti
perintah itu kecuali iblis, yang kemudian
dikutuk hingga hari kiamat. Sehingga orang
islam meyakini bahwa langit dan bumi
diciptkan oleh Allah untuk jangka waktu
tertentu, hingga hari Al Qiyama, atau hari
kebangkitan kembali, namun, kapan tepatnya
hari kebangkitan kembali itu, hanya Allah
yang tau.
Keyakinan Mengenai Kematian Dan Kehidupan
Akhirat
Sesuai dengn ajaran agama islam, orang
santri yakin bahwa orang peninggal, maka
malaikat kematian ‘Izra’il berdiri diatas
kepala orang itu dan menarik jiwanya keluar
dari tubuh dan memberikannya kepada para
pembntunya yang membawanya hingga surga
ketujuh. Jiwa itu kemudian ditempatkan
bersama tubuhnya kembali di dalam liang
kubur. Nmun bila orang yang meninggal
adalah orang kafir maka ‘Izra’il akan
mencabut nyawanya dengan kekerasan yang
kemudian dibwanya ke atas dan dihempaskan
ke bumi.
Jadi berbeda dengan orang Agami Jawi, yang
mengatakan roh – roh orang meninggal
berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya
sewaktu hidup, mka orang santri menganggap
bahwa roh itu tetap berada di dalam kubur
sampai Hari Kebangkitan Kembali. Namun
sampai kapan lamanya berada di dalam kubur
tidak begitu jelas di dalam Qur’an. Tetapi
dalam beberapa hadits disebutkan, malaikan
Munkar dan Nakir memeriksa bahkan
menghukum orng – orang yang telah
meninggal itu didlam kubur. Maka di kalangan
orang santri ada konsep bahwa kuburan
merupakan pintu gerbang menuju surga atau
neraka.
Pada hari kebangkitan, Al-Qiyama, bunyi
terompet malaikat ‘Izrafil menandakan bahwa
segala kehidupan didunia berakhir. Selang
beberapa saat bunyi terompet kedua
menghidpkan kembali semua yang telah mati
itu dan mengumpulkannya di suatu tempat
yang bernana Al – Makhsyar. Semua akan
ditanya Allah satu persatu. Orang yang
semasa hidupnya menjalankan hidup yang
kurus dan percaya kepada llah akan
ditempatkan di Surga dan sebaliknya orang
orang yang penuh dosa dan tidak
mempercayai Allah akan akan di masukkan
dalam Neraka. Jembatan menuju Surga , yaitu
Al-Shirat, merupakan batu ujian yang terakhir
untuk menuju ke Surga (janna). Dalam Qur’an
juga tidk jelas mengenai lamanya hukuman
yang harus dijalankan dalam Neraka, karena
surah - surah yang menyinggung hal ini saling
bertentangan. Misalnya, ada satu surah yang
mengatakan bahwa orang – orang yang telah
membinasahkan dirinya di dalam neraka akan
tinggal disana untuk selama – lamanya.,
tetapi dalam surah lain dikatakan bahwa
orang itu akan berada di sana selama surga
dunia masih ada, kecuali Allah menghendki
lain.
Keyakinan Esyatologi Dalam Diri Imam Mahdi
Menurut ajaran agama islam, kelemahan sifat
mental merupakan ciri khas manusia. Orang
cenderung menyeleweng dari agama dan
karena itu senntiasa dituntun ke jalan yang
benar. Oleh karen itu mengharapkan
datangnya pembaharuan agama islam dalam
diri Imam Mahdi, yang akan tiba dalam waktu
1000 tahun sebelum akhir dunia. Selama
berbad – abad keyakinan itu telah muncul
dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam
sistem tradisi dn sistem keyakinan dari
berbagai bangsa islam di dunia saja
melainkan para ahli theologi islam kuno yang
telah menyatkan buah pikirannya dalam
bentuk kesusastraan agama islam. Di
Indonesia pada umumnya, dan terutama
diantara kaum jawa santri, tidak ada suatu
keyakinan yang resmi mengenai imam mahdi
seperti itu. Walaupun demikian, agami jawi
yakin bahwa di zaman yang akan datang akan
tiba seseorang yang akan menyelamatkan
kebudayaan Jawa, dan bahwa keyakinan itu
sering kali berbaur dengan konsep orang
santri mengenai Imam Mahdi.
Syari’ah atau Hukum Islam
Sistem keyakinan agama islam dikumpulkan
dan diaur dalam Syari’ah, atau hukum islam.
Sumber utamanya adalah Qur’an., atau
menurut keyakinan orang islam adalah kata –
kata Allah sendiri, yang disampaikan dalam
beberapa tahap melalui wahyu kepada Nabi
Muhammad selama kedua fase dalam
kehidupannya, yaitu mula – mula ketika ia
tinggal di mekkah selama 13 tahun, dan
kemudian ketika ia berada di Medinah selama
10 tahun sejak tahun 622 Masehi. Kata – kata
Allah itu diturunkan dalam bentuk ayat
(syair) , untuk dibaca. Ayat – ayat itu dihafal
diluar kepala oleh Nabi Muhammad, dan di
antara sahabat- sahabatnya membantunya
menghafal, tetapi banyak juga yang ditulis di
atas kertas, daun lontar, di batu atau tulang
selangka binatang yang telah mati.
Setelah Nabi Muhammad wafat, pra
pengikutnya mengumpulkan serta
mengkodifikasinya, baik yang berasal dari
sumber = sumber lisan maupun tertulis, dan
disusun menjadi 114 surah berdasarkan
panjang pendeknya surah. Kecuali surah
pembukaan Suratu-‘lfatihah yang pendek,
surah – surah yang terpanjang di tempatkan
di depan, sedangkan yang terpendek di
belakang. Kumpulan surah – surah ini yang
menjadi buku suci Al-Qur’an.
Pada waktu itu telah berkembang pula
kesusastraan yang sangat luas mengenai
tanggapan – tanggapan serta interpretasi
mengenai buku suci Al – Qur’an oleh para ahli
agama dan cendikiawan Islam sehingga
menjadi ilmu yang di sebut ‘ilmu ‘t-tafsir.
Kesusastraan tafsir dan hadits dari semua
kebiasaan dn aktivitas Nabi Muhammad serta
para pengikutnya yang terpenting, merupakan
dua sumber tambahan dalam menyusun
hukum islam.
Studi dari pengumpulan bahan serta
perbandingan yang dilakukan atas sumber –
sumber suci Qur’an dan tafsir, interpretasi
dan kodifikasi dari tradisi – tradisi itu menjadi
suatu ilmu, yakni ‘ilmu ‘ifiqh. Sifat pluralistik
dari tradisi islam dengn demikian juga
mendorong berkembangnya beberapa aliran
dalam hukum islam (madzhab), dan empat
diantaranya secaa resmi diakui. Pada
umumnya di Indonesia, khususnya di Jawa
menganut madzhab Syafi’i.
Ada lima aktivitas keagamaan sebagai unsur
paling penting dalam islam, sehingga disebut
“lima arkan”, atau kelima tiang agama islam,
yaitu syahadad, atau pengakuan diri sebagai
penganut agama islam; shalat, atau
sembahyang; zakat, memberikan pada fakir
miskin; shaun, atau puasa; dan akhirnya hajj,
atau menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Sistem yang menyangkut keyakinan serta
pengetahuan tentang Kata – Kata Allah
disebut ilmu ‘l-qalam. kelima arkhan tersebut
tercantum di dalam syari’ah yang diatur
menurut hukum islam, dan merupkan aktivitas
– aktivitas keagamaan yang yang terpenting
dalam sistem upacara orang – orang santri di
Pulau Jawa.
5. Sistem Upacara Orang Santri
Sembahyang, Atau Pembacaan Ayat- ayat
Suci
Rukun Islam yang kedua, yang oleh orang
Jawa disebut salat atau
sembahyang.,merupakan ritus pokok orang
santri yang terdiri dari serangkaian gerak dan
ucapan surah –surah Qur’an yang harus
dilakukan lima kali sehari.
Berbeda dengan ndonga, yaitu doa yang
diucapkan oleh seseorang dn ditunjukkan
kepada llh atau mahluk – mahluk gaib lainnya
pada saat – saat apapun bila orang itu
memerlukannya , dan melakukannya dengan
kata – kta sendiri dalam bahasa Jawa, dan
tidak perlu dengan bahasa Arab. Sembahyang
itu harus dilakukan lima kali sehari pada
waktu – waktu tertentu, yaitu (1) sembahyang
subuh, pada waktu matahari terbit, (2)
sembahyang luhur, tengah hari, (3)
sembahyang asar, kira – kira jam 3 siang, (4)
sembahyang maghrib, waktu matahari
terbenam, (5) sembahyang isya, di malam
hari.
Kelima upacara sembahyang tersebut haus
dilakukan diantara kegiatan – kegiatan orang
sehari – hari, dan siapapun, baik yang tinggal
di kota maupun di desa.
Orang boleh melakukan sebahyang seorang
diri di sebarang tempat dimana ia kebetulan
berad pada saat yang ditentukan untuk
bersembahyang, baik dirumah, di kantor, atau
di jalan sekalipun. Walau demikian
sembahyang lebih baik dilakukan bersama –
sama orang lain.seperti pada waktu
sembahyang pada umumnya, didahului dengn
adzan oleh seorang bilal. Kecuali di masjid di
Jawa mempunyai bedhug yang dipukul untuk
memanggil oang untuk sembahyang.
Jakat Pitrah, Pemberian Pada Orang Miskin
Rukun Islam yang kedua yaitu zakat, hukum
islam dari madzab Syafi’I menentukan jenis
dan jumlah seekh yang harus diberikan, siapa
yang berhak menerimanya, dan jumlah yang
boleh diterimanya (Juynboll 1925: 77 - 94).
Umumnya di Indonesia dan khususnya di
Jawa, jakat diberikan dalam bentuk bahan
makanan, yaitu beras yang sudah ditentukan
jumlahnya.Sebagian besar dari beras jakat,
dibagi – bagikan kepada para petugas masjid
setempat, dan sisanya diberikan pada fakir
miskin. Para petugas masjid memang berhak
menerima bagian dari jakat , sesuai dengan
ketentuan dalam hukum islam; lagi pula,
mereka diangg memerlukannya, karena
kesibukan mereka mengurus para jemaahnya
sehingga mereka tidak sempat mencari
penghasilan bagi diri mereka sendiri.
Oleh karena hukum islm melarang
pengumpulan zakat dengan paksa maka
biasanya hanya sebagian kecil saja dari umat
yang memberikan zakat secara teratur; para
santri biasanya memberikan zakat mereka
kepada orang – orang tertentu, seperti
cendikiawan – cendikiawan atau guru – guru
agama., tau lembaga – lembaga sosial seperti
panti asuhan, rumah sakit dan sebagainya.
Namun baik orang santri maupun para
penganut Agami Jawi biasanya memberikan
zakat kepada mesjid untuk dibagi-bagikan
kepada para petugas mesjid dan fakir
miskin.Pada waktu menjelang hari raya idlfitri
yang disebut jakat pitrah. Jumlah beras yang
harus diserahkan untuk zakay adalan 2,5
kilogram tiap orang, yang diserahkan pada
petugas mesjid yang disebut amil, sambil
mengucapkan niyyat.
Siyam, Atau Puasa
Cara orang santri melakukan puasa (siyam)
tidak berbeda dengan para penganut Agami
Jawi, walaupun tanpa upacara – upacara
slametan.Namun perlu kiranya dicatat bahwa
bagi orang santri, siyam sebagai slah satu
rukun agama islam yang dianggap sebagai
suatu hal yang sngat penting.
Dhikir
Baik penganut agami jawi, tetapi terutam
orang santri melakukan suatu upacara dimana
semua orang yang hadir menyebutkan nama
Allah dan mengucapkan tahlil, yaitu “la ilaha
illa’l-Allah” beberapa kali dan menggunakan
tashbih untuk menghitungnya. Upacara yang
dalam bahasa Jaw disebut dhikir itu dilakukan
sesuai pembacaan ayat – ayat Qur’an pada
upacara slmetan kenduri.Dhikir diucapkan
sambil duduk bersilang kaki, dengan
menggoyang – goyangkan tubuh ke kanan dan
ke kiri mengikuti irama.Makin cepat iramanya,
makin cepat pula gerakan tubuhnya, sehingga
yang keluar dari mulut hanyalah suara
bergumam yang tidak jelas bunyinya, dengan
nada naik turun, sesuai dengan
iramanya.Dalam gerakan mistik tarekat
diantara orang satri, dhikir merupakan bagian
pokok dari upacaranya. Ada dua macam
dhikir, yaitu dhikir kapi (dhikir yang lembut)
dan dhikir jahar (dhikir yang keras). Dalam
dhikir kapi kalimat kalimat “la ilaha illa’l-
Allah” hanya diucpkan dihati saja, atau
dengan suara yang sangat lembut sehingga
hampir tidak terdengar, dilakukan dengan
mata terpejam dan bibir hampir tidak
bergerak. Untuk melakuknnya nafas harus
benar – benar diatur untuk menjaga
kewaspdaan dn konsentrasi jiwa, sedangkan
pikiran harus selalu tertuju pada Allah. Dhikir
jahar dilkukan dengan engucapkannya keras –
keras seperti menggoyang – goyangkan tubuh
seperti yang disebut diatas.
Hajj Dan Kurban
Bagi seorang santri, perjalanan ke Mekah
untuk melaksanakan ibadah haji (minggah
kaji) merupakan salah satu rukun islam yang
wajib dipenuhinya, yaitu: (1) perjalanan yang
akan ditempuhnya harus dijamin aman; (2)
kesehatan harus baik; (3) jemaah wanita
harus mendapat izin dari suaminya, dan
sesuai dengan peraturan dalam syari’ah, ia
harus ditemani oleh seorang pria; (4)
keluarga yang ditinggl dirumh harus terjamin
kedaannya. Ampai tahun 1922 pemerintah
kolonial Belanda jarang memberikan paspor
dan izin berangkat untuk melakukan
perjallanan ke tanah suci, dn karena itu orang
Indonesia, terutam orang – orang santri jawa
yang berhasil menunaikan ibahdah haji sangat
sedikit jumlahnya, sehingga orang haji
mendapat kedudukan yang sangat tinggi
dimata masyarakat pada waktu itu.
Sesudah perang dunia ke II pemerintah
Indonesia memberikan kemudahan bagi
warganya yang ingin pergi ke tanah suci, dan
segala urusan yang bersangkutan dengan
perjalanan ke tanah suci, dari awal hingga
akhir ditangani oleh Direktort Urusan Haji,
yang berada di bawah Departemen Agama.
Apabila salah seorang anggota keluarga
santri pergi naik haji, keluarga yang dirumah
pada tanggal 10 Besar, yaitu pada waktu para
jemaah haji melakukan upacara kurgan di
lembah Mina, mereka harus mengadakan
salatu ‘l-‘id pada pagi hari, dan memotong
seekor kambing atau anak sapi untuk
disedekahkan kepagda fakir miskin atau
tetangga. Merka sendiri juga diperbolehkan
mkan sebagian dari daging itu. Upacara
kurban biasanya dilkukan oleh para petugas
masjid , yakni oleh modin atau kaum, yang
faham cara – cara melakukannya.
Bagi orang agami jawi hari besar yang
penting ini biasanya berlalu begitu saja ;
tetapi di kraton Yogyakarta dan Surakatrta
diadakan upacara kerajaan grebeg besar.
Perayaan – Perayaan Dan Upacara – Upacara
Tahunan
Hari – hari besar yang dirayakan oleh orang
santri tentu saja sama dengan yang dirayakan
oleh para penganut Agami Jawi , yaitu
tanggal 1 Sura (1 Muharram); tanggal 10
Sura; hari Rabu terakhir bulan Sapar ; tanggal
12 Mulud; tanggal 27 Rejeb; suatu malam
ditngah bulan Ruwah; tanggal 1 Syawal, dan
10 Besar.
Pertunjukan Ceritera – Ceritera Maulid
Ceritera - ceritera itu mengishkan berbagai
tahap dalam kehidupn Nabi Muhammad , dan
ditulis dengan bahasa Arab dengan bentuk
prosa berirama. Beberpa kumpulan ceritera
Maulid yang paling disukai telah
diterjemahkan ke dalam bahasa – bahasa
setempat.Dua yang paling dikenal orang
santri yaitu suatu karangan oleh Ja’far al-
Barzanji, dan suatu karangan yang berjudul
Sharafi ‘l-anam.Pada hari – hari besar Islm
yang penting, bagian – bagian dari kupulan
ceritera itu dibawakan oleh ahli – ahli
dongeng khusus, antara lain pada hari – hari
menjelang tanggal 12 Mulud , yaitu hari
kelahiran serta wafatnya Nabi Muhammad ;
dan pada malam hari menjelang tanggal 27
Rejeb., untuk memperingati kenikan Nabi
Muhammad ke surga. Pertunjukan biasnya
diadakan di masjid
Upacara – Upacara Ritus Sepanjang
Lingkungan Hidup Orang Santri
Orang santrijuga melakukanritus untuk
merayakan beberapa peristiwa tertentu dalam
lingkar hidupnya.Orang santri tidak
merayakan peristiwa kehamilan tujuh bulan,
tetapi mengadakan upacara sedekah pada
bayi yang berumur tujuh hari, yang
dinamakan upacara kekah.Upacara
pemotongan rambut bayi sekaligus pemberian
nama.
Upacara kekah disertai dengan pemotongan
seekor anak sapi atau dua ekor kambing bagi
anak laki – laki dan satu ekor kambing bagi
anak perempuan.Daging kurban itu sebagian
diberikan kepada tetangga dan sebgian lagi
diberikan kepada mesjid untuk dibagikan pada
fakir miskin.Keluarga yang menyelenggarakan
itu juga mengambil sebagian daging untuk
dimakan bersama.
Berbeda dengan penganut Agami Jawi ,yang
juga mengadakan upacara selametan pada
peristiwa – peristiwa itu. Seperti upacara
tedhak siti dan upacara peringatan hari
weton, yang tidak diadakan oleh orang santri.
Sebaliknya, orang santrimengnggap penting
upacara khitanan , karena sesuai dengan
hukum islam, dan merupakan upacara yang
wajb dilakuka oleh anak pria maupun wanita.
Upacara perkwinan orang santri mirip dengan
upacara perkawinan orang Agmi Jawi ,
walaupun orang santri lebih memperlihatkan
aspek – aspek keagamaan, yaitu upacara ijab
dan santapan pengantin (dhahar klimah).
sifat keramat dhahar klimahitu berdasarkan
hdits dan buku hukum madzhab Syafi’i.
Upacara Kematian
Upacara ini pada umumnya antara orang
santri tidak berbeda dengan orang Agami
Jawi.Namun dalam Agami Jawi tidak ada
acara sembahyang di hadapan jenzah yang
dilakukan oleh pengunjung yang datang
melayat.
Orang santri melakukan semua upacara
selametan orang meninggal, yitu pada hari
ketiga, ketujuh, kesepuluh, keempatpuluh,
kesetarus dan keseribu.Yang terlarang bagi
mereka hnyalan slametan surtanah saja.Pada
upacara slametan itu, sedekah atau kenduri,
dhikir merupakan unsur yang penting.
Para Petugas Agama Islam
Agama islam adalah suatu agama tanpa
pendeta, karena agama islam dan Negara
Arab mula – mula merupakan satu organisasi
keagamaan.
Kepala mesjid pada umumnya adalah
penghulu . kecuali mengelola bangunannya
serta segala urusan mesjid , seorang
penghulu di Indonesia pada umumnya dan di
Jawa khususnya mempunyai tugas yang
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan
mesjid, seperti misalnya mengurus
administrasi pernikahan, perceraian dan
rujuk, serta mencatat hal – hal yang mengenai
tanah – tanah warisan dan tanah wakap serta
mengenai jakat tersebut diatas.
Keculi itu seorang penghulu kepala mejit
seringkali juga dipanggil di luar hari dinas,
untuk memimpin suatu upacra kemtian, oleh
karena itu ia dianggap mampu mengucapkan
ayat – ayat Qur’an dan melakukan shalat
sebagaimana mestinya. Akhirnya ia harus
bertindak sebagai seorang imim pada upacara
sembahyang Jum’at di mesjid.
Sebagai pemimpin dari berbagai upacara
keagamaan, seorang penghulu dibantu
beberapa pegawai seperti misalnya ketip,
modin, amil, dan merbot.Mengingat istilah
sebutan mereka dapat mengambil kesimpulan
bahwa “ketip” asalnya dari bahasa
arabkhatib, yang biasanya membawakan
khotbah sebelum diadakan sembahyang
Jum’at. “Modin” berasal dari kata
arabmu’addzin, dan merupakan sebutan bagi
orang yang menyuarakan adzan.Seorang amil
bertugas menctat dan menbagi-bagikan
zakat. Seorang merbot adalah seorang
pekerja yang harus membersihkan mesjid,
menjaga agar bak air untuk melakukan wudhu
senantiasa terisi penuh, dan menjadi pesuruh
penghulu dan petugas – petugas yang lain.
GERAKAN MISTIK, MAGIC DAN ILMU
KEBATINAN
(Koentjaraningrat dan As’ad El Hafidy M.H)
Kebatinan Kejawen
Orang orang agami jawimerasa bahwa
kehidupan beragama yang hanya berpusat
kepada serangkaian upacara selametan,
memberikan sajian pada waktu – waktu
tertentu dan ditempat – tempat tertentu,
serta berziarah ke makam – makam, namun
mereka merasa hal tersebut tidak mamuaskan
dn dngkal. Oleh karena itu mereka mencari
penghayatan mengenai inti hidup dan
kehidupan spiritual manusia.Berbagai gerkan
yang dinamakan gerakan kebatinan kejawen
yang berusaha menemukan suatu kehidupak
spiritual yang legih berarti telah muncul
tetapi kemudian menghilang kembali
sepanjang sejarah kebudayaan Jawa.Istilah
kebatinan itu menandakan bahwa di dalam
semua gerakan itu para anggotanya mencari
kebenaran dalam batin diri sendiri.
Kebanyakn gerakan kebatinan di Jawa
merupakan gerakan lokal saja, dengan
anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak
lebih dari 200 orang. Gerakan – gerakan
seperti itu secara resmi disebut “aliran kecil” ,
seperti Penunggalan, Jiwa Ayu, dan Pancasila
handayaningrat dari Surakarta; Ilmu
Kebatinan Kasunyatan dari Yogyakarta; Ilmu
Sejati dari Mdiun; dan Trimurti Naluri
Majapahit dari Mojokerto.
Sebagian kecil dri gerakan kebatinan
mempunyai anggota lebih dari 200 orang, dan
malahan ada yang beranggotakan lebih dri
1000 orang tersebar di berbagai kota di Jawa
dan terorganisir dalam cabang – cabang.
Gerakan seperti ini secara tresmi dinamakan
“aliran besar” , dan lima yang terbesar adalah
Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi
Dharma di Semarang, Paguyuban Ngesti
Tunggal dari Surakarta, Paguyuban umanah
dan Sapta Dharma dari Yogyakarta.
Hardapusara adalah yang tertua diantara
kelima gerakan yang terbesar itu, yang dalam
tahun 1895 didirikan oleh Ki Kusumawicitra,
eorang petani dari Desa Kemanukan dekat
Purworejo. Ia konon menerima wangsit , dari
ajaran – ajaran semula disebut kawaruh
kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula –
mula adalah seorang priyayi dari Purworejo
dn beberapa kota lain di daerah Bagelen.
Susila Budi Dharma didirikan pada tahun 1025
di Semarang, pusatnya sekarang berada di
Jakarta.Gerakan ini tidak mau disebut gerakan
kebatinan, melainkan menamakn dirinya
“pusat latihan kejiwaan”.
Paguyuban ngesti tunggal, atau
pangestu,adalah sebuah gerakan lain yang
luas jangkauan nya. Didirikan oleh
Sornarto.Pangestu didirikan di Surakarta
dalam bulan Mei 1949dan anggota –
anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000
orang di pulau Jawa.
Paguyuban Sumarah merupakan orgnisasi
besr yang dimulai sebgai suatu gerakan kecil,
dengan pemimpinnya bernama sukirno dari
Yogyakarta.Jumlah anggota kini sudah
mencapai 115.000 orang.
Sapta Darma adalah yang termuda dari
kelima gerakan kebatinan yang terbesar di
Jawa., yang didirikan pada tahun 1955 oleh
seotrang guru gama bernama Harjosaputro,
yang kemudian berganti nama menjadi
Panuntun Sri Gutomo, berasal dari Desa
Koplakan, dekat Pare. beranggotakan orang –
orang dari daerah pedesaan dan orang –
orang pekerja kasar yang tinggal di kota –
kota. Walaupun demikian, para pemimpinnya
hampir hampir semuanya priyayi .
Walaupun gerakan – gerakan kebatinan ad di
seluruh daerah orang Jawa, namun Surakarta
sebagai pusat Kebudayaan Jawa dimana
terdapat paling banyak organisasi kebatinan
yang terpenting.Dalam tahun 1970 ada 13
organisasi kebatinan.
Menurut M.M Djojodigoeno, ada empat
macam gerakan kebatinan di Jawa, yaitu : (1)
yang terpokok pada mistik, (2) yang terpokok
pada teosofi, (3) gerakan – gerakan moralistik
dan etik yang berpokok pada pemurnian jiwa,
dan (4) gerakan – gerakan yang berpokok
pada praktek – praktek ilmu gaib dan ilmu
dukun.
Gerakan-Gerakan Mistik Kebatinan
· Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan
orang jawa, kehidupan manusia di dunia ini
hanyalah sebagian kecil dari kehidupan alam
semesta yang abadi, dimana manusia itu
seakan-akan “berhenti sebentar untuk minum”
dalam menjalani suatu perjalanan yang tidak
henti-hentinya untuk mencari tujuan akhirnya
yaitu bersatu dengan sang pencipta.
· Hal yang harus dilakukan untuk menganut
mistik dibawah pimpinan guru dan panuutun
agama adalah kemauan dan kemampuan
untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan,
yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk
melepaskan segala hak milik, pikiran atau
perasaan untuk memiliki, serta keinginan
untuk memiliki. Kemampuan untuk
membebaskan diri dari dunia kebendaan dan
kehidupan duniawi juga melibatkan sifat
narima, yaitu sikap menerima nasibdan sikap
bersabar. Sikap-sikap semacam itu dapat
diperoleh melalui hidup sederhana, hidup
bersih, dan melakukan berbagai kegiatan
upacara yang meningkatkan kemampuan
untuk berkonsentrasi dengan jalan
pengendalian diri dan melakukan berbagai
latihan bersemedi. setelah seseorang sudah
bisa bebas dari beban kehidupan duniawi
(pamudharan) dan melewatitahapan yang
lainnya, maka pada suatu saat nanti akan
bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula
Gusti, atau manunggaling kawula Gusti).
Kemudian orang itu juga wajib amemayu
ayuning bawana, yaitu berusaha memelihara
dan memperindah dunia dengan jalan
melakukan hal-hal yang baik, dan hidup
dengan penuh tanggung jawab.
Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
· Cara untuk mencapai pirifikasi jiwa pada
dasarnya adalah dengan menjalankan
kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik
secara moral, sederhana, mampu
membebaskan diri dari keduniawian,
mempunyai sikap yang baik terhadap
kehidupan, nasib dan kematian, dan
melakukan semedi secara ketat. Gerakan-
gerakan kebatinan ini berusaha mencari
kebebasan rohaniah individu, bersifat agak
individualis dan geraka intu menarik bagi
orang-orang yang membuttuhkan kehidupan
keagamaan tanpa harus menaati peraturan-
peraturan keagamaan yang resmi secara
ketat, namun sesuai dengan adat istiadat.
Kebatianan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
· Gerakan ini biasanya hanya beranggotakan
puluhan saja, berpusat dikota-kota, bersifat
rahasia, dengan tujuan yang bersifat mistik,
moralitas atau etis, dan di pimpin oleh
seorang guru. Untuk mencapai tujuannya para
anggota gerakan ini banyak ,melakukan
praktek-praktek ilmu gaib, disamping
melakukan studi dan bersemedi.
· Awalnya gerakan ini merupakan organisasi
yang mengajarkan seni bela diri pencak.
Mereka sering melakukan berbagai ritus gaib
secra rahasia yang dimaksudkan agar
muridnya memperoleh kekebalan dan
kesaktian. Dan ini mengakibatkan kelompok-
kelompok semacam itu berubah menjadi
organisasi rahasia yang melakukan ritus-ritus
ilmu gaib untuk memperoleh kekuata gaib,
dan bukan lagi merupakan organisasi untuk
mengajarkan seni bela diri pencak seperti
tujuan semula.
Gerakan Mesianik
· Gerakan mesianik dijawa mempunyai tujuan
praktis dan duniawi, dan tidak didasarkan
gagasan-gagasan mengenai dunia akhirat.
Menurut sartono, gerakan mesianik ini muncul
tidak untuk melarikan diri dari kenyataan
hidup, akan tetapi sifatnya yang sinkretistik
menyebabkan bahwa sukar untuk
membedakan dengan jelas antara gerakan-
gerakan seperti itu dengna gerakan-gerakan
keagamaan lainnya.
· Sifat dari gerakan mesianik jawa pada
umumnya adalah untuk berusaha kembali
kekebudayaan dan tradisi nenek moyang, dan
mengagung-agungkan kebudayaan dan tradisi
nenek moyang itu, yang sudah dilanggar dan
mendapat pengaruh dari pendidikan belanda
serta para pegawai pemerintahan setempat
yang mendapat tekanan dari kolonial.
Kemudian mereka mendirikan suatu kerajaan
yang dipimpin oleh seorang Ratu Adil.
Gerakan-Gerakan Kerohanian Orang Santri
Gerakan kerohanian santri ini dapat
diklasifikasikan menjadi: (1) gerakan yang
titik beratnya pada mistik, (2)gerakan-
gerakan puritan yang berpedoman kepada
kembalinya suatu masyarakat keagamaan
yang bersifat murni dan keyakinan serta
perilaku agama serta tradisi islam. (3)
gerakan-gerakan yang berpedoman pada
keyakinan mesianik. (4) gerakan-gerakan
yang berpusat pada kegiatan-kegiatan ilmu
gaib dan ilmu dukun.
orang-orang yang menganut aliran ini
biasanya disebut tarekat, dibawah pimpinan
seorang guru yang disegani oleh penduduk
sekitar dan biasanya disebut kiyai. Ada
beberapa kriteria untuk menjadi pemimpin
tarekat atau seorang guru mistik. Yaitu:
· menjalani latihan dalam sebuah pesantren
atau dalam tarekat lain dan telah
mendapatkan ijasah. Lalu kemudian
mendirikan pesantren atau tarekat baru.
· mempunyai riwayat hidupa yang panjang,
belajar ilmu mistik pada guru-guru terkenal,
kemudian mengajar diberbagai pesantren
atau sekolah tarekat, baru kemudian setelah
merasa cukup berpengalaman mendirikan
tarekat sendiri
· Mempunyai wakil-wakil yang taat kepadanya
dan siap melayaninya setiap waktu.
Solidaritas para siswa, para pengikut dan
para penganut suatu pesantren tarekat dibuat
lebih intensif dengan mengadakan ritus-ritus
sekeliling makam tokoh pemimpin legendaris
dari tarekat itu yang dibangun dihalaman
pesantren.Makam ini juga dipuja-puja
sebagai pepeundhen oleh masyarakat
sekelilingnya yang bahkan tidak terkategori
sebagai santri.
Para siswa pesantren mempelajari ilmu ifiqh
(hukum islam), ilmu iqalam (teologi), dan
ilmu ttashawwuf (ilmu mistik). Jenis dzikir
yang dilakukan yaitu dzikir jahar, atau dzikir
kapi, atau suatu kombinasi dari keduanya
dilakukan sesuai dengan aliran mistik tarekat
yang bersangkutan.
Gerakan-gerakan agama bersifat Islam
puritan, menghendaki kembalinya agama
islam kepada pelajarannya yang asli. Pada
gerakan islam puritan ini upacara dzikir tidak
ada. Salah satu gerakan puritan yang ada
adalah sekte budiah yang didirikan pada abad
pertengahan ke 19 oleh Haji Muhammad
Rifangi dari desa kalisalak. Gerakan islam
puritan tidak melakukan kegiatan
pemberontakan yang nyata, walaupun mereka
memang menentang pemerintahan dan
mengutuk agama-agama asing yang
berkembang di daerah pekalongan dan daerah
bagelan.
Juga ada gerakan imam mahdi yang
mempunyai potensi lebih besar untuk
berkembang menjadi kegiatan
pemberontakan, yang mungkin disebabkan
karena sifat dari gerakan mesianik yang
memang bertujuan untuk membangkitkan
kesadaran orang akan datangnya seorang
ratu adil. Sartono Kartodirdjo juga
menyebutkan adanya gerakan-gerakan yang
juga memberontak terhadap kekuasaan yang
ada dengan dasar melakukan jihad, tetapi
dengan menggunakan teror, perampokan,
intimidasi, dan cara-cara kriminal lainnya.
7. Ilmu Gaib, Ilmu Sihir, dan Ilmu Petangan
Ilmu Gaib (ngelmi) dan tenung pada orang
jawa merupakan subsistem dari religi, karena
mengenai manusia ynag berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan superanatural, dan karena
itu dianggap keramat. Orang jawa
menganggap ngelmi itu bagian dari religi, dan
memang ngelmi itu berkaitan dengan religi.
Orang yang melakukan praktek ilmu gaib
berusaha mencapai suatu tujuan dengan cara
aktif, yaitu dengan menganggap bahwa ia
dapat memanipulasi dan mengendalikan
berbagai kekuatan gaib. Dalam menjalankan
aktivitas itu ia mengucapkan mantra-mantra
dimana ia mengutarakan kehendaknya
(gadhah pikajeng). Sebaliknya, orang yang
melakukan suatu upacara religi menyerahkan
dirinya sepenuhnya kepada Tuhan, kepada
para dewa, atau kepada mahluk-mahluk gaib
lain, dan berdoa agar permintaannya bisa
terkabul.
Untuk berhubungan dengan alam semsta dean
lingkungannya seseorang melakukan upacara
ilmu gaib yang berpegang pada suatu sistem
klasifikasi simbolik dan berasaskan pikiran
asosiasi prelogik. Sehingga menyebabkan
orang menyangka ada suatu kaitan yang erat
antara gejala-gejala yang sering kali berbeda
dalam prinsip dan fungsinya, tetapi kebetulan
mirip dalam hal bentuk atau warnanya, terjadi
bersamaan, berurutan, saling bertumpang
tindih, terjadi ditempat yang sama, dan mirip
bunyinya. Contohnya : yakin bahwa nasi
tumpeng dan sebuah gunung mempunyai
kaitan yang mendalam, yang disebabkan
karena persamaan bentuknya. Yakin bahwa
padi yang sudah masak kekunung-kuningan
dan emas daun (praos) berkaitan, karena
persamaan warnanya. Mekanisme pikiran yang
berasaskan pikiran asosiasi prelogik juga
menyebabkan bahwa banyak orang jawa yang
buta huruf, yakni bahwa tindakan-tindakan
yang hampir serupa mempunyai kaitan sebab-
akibat.
Orang jawa juga yakin bahwa tidak hanya
kekuatan gaib saja yang dapat
dimanipulasikan dan dikendalikan untuyk
mencapai suati tujuan dengan cara gaib,
tetapi juga mahluk-mahluk gaib. Mahluk kecil
yang disebut thuyul juga dapat dikendalikan
dan diperintahkan oleh seorang dukun untuk
mengusir roh jahat yang membawa penyakit
para orang yang meminta pertolongan dukun
itu.
Upacara-Upacara Ilmu Gaib
Tujuan upacara ilmu Gaib : (1) Untuk
menghasilkan sesuatu. (2) untuk melindungi
manusia atau komunitas. (3) untuk menyakiti
atau menghancurkan saingan dan musuh. (4)
untuk meramal masa depan. Selain itu ada
empat macam upacara ilmu gaib. Yaitu ilmu
gaib produktif, ilmu gaib protektif, ilmu gaib
destruktif, dan ilmu gaib meramal.
Ilmu gaib produktifsering kali diadakan dalam
rangka upacara religiomagis yang sifatnya
komunitas, misalnya upacara untuk
menghasilkan panen yang lebih baik, dan
upacara untuk mendatangkan hujan. Ilmu
gaib produktif biasanya bersifat baik, ilmu
gaib ini termasuk ilmu gaib putih. Ilmu gaib
produktif biasanya dilakukan demi
kesejahteraan diri seseorang, kesejahteraan
diri seseorang, kesejahteraan kelompok,
kesejahteraan suatu masyarakat secara
keseluruhan, dan karena itu dapat juga
disebut ilmu gaib umum
Ilmu gaib protektifbiasanya dilakukan dalam
upacara-upacara dengan maksud untuk
menghalau penyakit dan wabah, membasmi
hama tanaman dan sebagainya. Upacara-
upacara semacam ini biasanya dilangsungkan
dengan pertunjukkan wayang kulit sebagai
suatu upacara ngruwat dengan menggunakan
mantra-mantra dan menggunakan kekuatan
energi yang dianggap ada dalam benda-
benda keramat dan pusaka-pusaka suci. Ilmu
gaib protektif jugta ada sub-sub kategori
yang sifatnya lebih pribadi yang berkaitan
dengan kebiasaan memelihara binatang.
Seperti ilmu untuk memelihara kuda (ngelmi
katuranggan), ilmu gaib untuk memelihara
ayam jantan untuk disabung (ngelmi aben
sawung), untuk memelihara jangkrik aduan
(ngelmi aben jangkrik) dll. Selain itu juga ada
buku-buku tradisional mengenai ilmu gaib
jawa yang disebut primbon.
Pengetahuan orang jawa mengenai ilmu
menyembuhkan penyakit
Sekarang ini sudah banyak masyarakat yang
mengetahui penyebab penyakit yang diderita.
Banyak orang desa yang mulai berobat
kedokter ataupun ke puskesmas. Tapi masih
banyak pula masyarakat jawa bahkan yang
sudah terpelajarpun yang masih percaya kalau
yang menyebabkan penyakit itu karena
pengaruh gangguan roh jahat yang masuk,
karena ada darah kontor, dan adanya benda-
benda asing yang sengaja dimasukkan
kedalam tubuh manusia. Sehingga mereka
lebih memilih pergi kedukun untuk
menyembuhkan penyakit. Dukun mengobati
dan menyembuhakan orang menggunakan
teknik ilmu gaib berdasarkan asas pikiran
asosiasi prelogik. Selain itu dukun juga
memanggil roh yang sedang mengembara
untuk datang pada tubuh orang yang sedang
sakit untuk mengusir roh jahat yang
menyebabakan ia sakit. Seorang dukun
biasanya juga menggunakan jamu tradisional
untuk menyembuhkan orang sakit. Ilmu gaib
untuk menyembuhkan penyakit ini juga
menggunakan benda-benda pusaka yang
diyakini mempunyai kekuatan terutama keris
untuk menolak penyakit.
Ilmu Gaib Destruktif dan Ilmu Sihir
Ilmu gaib destruktif dan ilmu sihir biasanya
digunakan oleh masyarakat jawa untuk hal-
hal yang negatif dan biasanya merugikan
orang lain. Sehingga termasuk golongan ilmu
hitam. Misalnya saja digunakan untuk
membalas dendam kepada orang yang tidak
sengaja menghina atau menyakitinya.
Biasanya mereka menyewa tenung dengan
bayaran yang mahal muntuk menyakiti orang
terseber atau membunuhnya. Teknik ilmu
gaib yang paling banyak digunakan untuk
menenung adalah perbuatan ilmu gaib
imitatif, yaitu dengan cara membinasakan
suatu benda (biasanya sebuah boneka) yang
melambangkan si korban. Selain itu juga
dibacakan mantra-mantra. Cara lain bisa
menggunakan jimat yang sudah di isi dengan
kutukan. Ilmu gaib ini biasanya digunakan
untuk guna-guna. Biasanya untuk memperoleh
perhatian dan cinta seseorang. Ilmu tenung
juga sering digunakan untuk mencuri dengan
membuat korban tertidur lelap.
MEMAHAMI KONSTRUKSI SOSIAL TRADISI
ISLAM LOKAL
(Nur Syam)
A. Tradisi Islam Lokal Pesisir : Ritual – ritual
Penting
Tradisi islam lokal memiliki keunikan
tersendiri,seperti yang di ungkapkan
masyarakat wilayah pesisir Palang, Tubn,
Jawa Timur. Keunikan tersebut nampak dari
berbagai pelaksanaan pacara ritual yang
diselenggarakan dari zaman dahulu hingga
sekarng. Setiap upacara yang diselenggarakan
akan tampak adanya sesuatu yang dianggap
sakral, suci tau sacred, yang berbeda dengan
yang dialami , empiris, atau yang
profan.diantara ciri – ciri sakral adalah
adanya keyakinan, ritus, misteri dan
supranatural. Representasi dari semu itu
berupa sesaji atausesajen, bacaan suci (Al-
Quran, tahlil dan ratiban), dan doa dalam
berbagai variasinya. Di dalam upacara lingkar
hidup, sarana ritus ini berupa bahan – bahan
makanan yang tellah disucikan dengan cara –
cara tertentu, ad prosesi “penyucian ” yang
terlibat. Misalnya upacara kehamilan,
terdapat proses penyucian melalui ritus
bacaan doa, bacaan ayat – ayat suci Al-
Quran dan juga pembutan simbol – simbol
kesucian seperti penulisan nama Maryam atau
Yusuf dan Muhammad, selain itu ada
penulisan tokoh – tokoh pewayangan seperti
arjuna, janaka dan sembodro.
Upacara di kuburan orang yang meninggal jug
memilii keyakinan, misteri,dan penghormatan
kepada nenek moyang atau leluhur yang
sudah meninggal. Dalam tradisi
mangananternyata tidk hanya mengandung
dimensi memberikan sesajen kepada arwah
leluhur dengan bahan makanan yang disucikan
melalui doa – doa saja tetapi juga dengan
tindakan menghormat. Ritual juga diberikan
kepada sumur yang dianggap memiliki
kekuatan gaib atau adikodrati. Dalam sistem
keyakinan mereka bahwa pembarian kepada
kekuatan gaib harus berbeda dengan
pemberian terhadapm yang lain.
Bahkan tradisi ritual dulkadiran atau
manakiban – sebuah upacara dengan tingkat
kerumitan tinggi pun sarat dengan keunikan
dan kesucian yang dimaksud.Kesakralan
terasa begitu orang melakoni upacara, yaitu
dengan mencuci beras harus ke sumur wali,
mbah wali mejid.Orang yang mencuci beras
harus suci dari hadath besar atau kecil serta
harus lepas dari haid.Begitu pula dengan
yang memasak. Harus suci karena yang akan
diberi persembahan adalah Sultanul Auliya
atau Wali Qutub yang memiliki tingkat
kesucian lebih tinggi dibanding wali – wali
lainnya.
Wilayah pantai utara memiliki keunikan
sendiri dilihat dari banyaknya makam wali
sebagai penyebar islam di tanah Jawa. Tak
pelak bahwa islam berkembang ke wilyah lain
melalui pesisir utara Jawa.
Dewasa ini, di seluruh makam wali tersebut
dilakukan upacra khaul untuk menandai
eksistensi “religius dan sosial” merek
ditengah kehidupan masyarakat.Upacara
khaul sudah menjadi semacam
festival.Sebagai sebuah festival, tolok ukurnya
adalah banyaknya orang yang datang,
sehingga memunculkan nuansa ekonomi
festival. Dengan demikian, sebuah upacara
khaul sekurang – kurangnya menghadirkan
tiga moment penting, yaitu ritual doa, festival
kesenian, dan aktivitas ekonomi.
Dalam setiap makam wali menghadirkan
nuansa sakral, yang berbeda dengan makam –
makam pada umumnya.Memang tidak
diketahui secara pasti, kapan pensakralan
makam itu terjadi, tetapi jelasnya ada
perlakuan khusus dari masyarakat lokal
tentang makam – makam tersebut.Seluruh
pensakralan bermuara pada penemuan
berkah, dengan demikian makm mengandung
mitologi dan mistifikasi. Hal itu tidak datang
dengan sendirinya akan tetapi melalui proses
pelembagaan dan habitualisasi. Untuk
melestarikan mitos – mitos itu , digunakanlah
berbagai sarana dan instrumen yang
mendukukn, yaitu pengajian, tahlilan, yasinan,
dan berbagai upacara yang bermuatan
religius.
B. Konstruksi Sosial Tradisi Islam Lokal:
Ekternalisasi, Objektivasi, Dan Internalisasi.
1. Eksternalisasi : Momen Adaptasi Diri
Eksternalisasi merupakan proses awal dlam
konstruksi sosial. Merupakan momen adaptasi
diri dengan dunia sosio - kultural dan sarana
yang digunakan adalah bahasa dan
tindakan.Manusia menggunkan bahasa untuk
melakukan adaptasi dengan dunia sosio –
kulturalnya dan kemudian tindakannya juga
disesuaikan dengan dunia sosio – kulturalnya.
Secara konseptual, momen peyesuaian diri
dengan dunia sosio – kultural tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
Pertama, penyesuaian dengan teks – teks
suci. Ungkapan di dalam teks – teks suci (Al-
Qur’an dan Hadits) dapat dipakai sebagai
pijakan untuk memberikan legitimasi tentang
“benar” atau “tidaknya” tradisi yang dilakukan
oleh para pendahulu yang disebut sebagai
‘ulama salaf yang salih”, ahli agama islam
terdahulu yang terkenal kesalehannya, yang
memiliki kemampuan untuk menerjemahkan
ajaran islam sesuai dengan interpretsinya.
Setiap upacara memiliki dasar legitimasinya
masing – masing.Kitab Mujarabat yang berisi
religio – magisme bisa saja dianggap sebagai
kitab rujukan penting yang mendasari
berbagai tindakan ritual. Penggunaan air
kelapa sebagai air Zam – zam, ternyata
bersumber dari kitab jenis ini. Upacara hari
Asyura ternyata berasal dari sejarah lisan
yang diyakini sebagai kebenaran – kebenaran
historis. Upacara nyadran di sumur yang
kemudian menjadi sedekah bumi., dianggap
sebagai pelestarian warisan leluhur yang
bersumber dri sejarah lisan. Upacara di
makam, baik khaul, nyekar, atau ziarah
makam, manganan kuburan jugamemperoleh
legitimasi dari teks suci sebagaimana
penafsiran mereka sendiri. Tradisi ziarah
kubur telah ada semenjak Nabi Muhammd,
Saw. Sedangkan festival ziarah (khaul) juga
memperoeh legitimasinya dilihat dari
substansi khaul yang berupa ziarah, tahlilan,
yasinan, pengajian atau semua yang dianggap
memiliki basis nilai didalam ajaran agama
islam. Inti dari khaul yang sesungguhnya
adalah ziarah kubur.
Kedua, penyesiuaian dengan nilai dalam
tradisi lama. Ada du tindakan yang
ditampilkan dalam proses penyesuaian
tindakan individu dengan nilai dalam tradisi
lama, yaitu penerimaan dan penolakan.
Penerimaan terhadap nilai dan tradisi lama
biasanya berwujud dalam tindakan
partisipatif dalam berbagai upacara
keagamaan yang dilakukan di berbagai ruang
budaya.Namun ada juga sebagian warga yang
menolak terhadap pelestarian nilai dalam
tradisi lama. Penolakan itu juga berbasis
pada teks – teks suci berdasarkan cara
pandang mereka. Bentuk penolakan adalah
dengan penggunaan bahasa, seperti sego
neroko untuk memaknai upacara kematian,
dianggap bahwa upacara itu adalah bentuk
takhayul, bid’ah dan khurafat, sampai dengan
tindakan pembakaran terhadap tempat –
tempat yang dianggap suci oleh sebagian
masyarakat lainnya.Selain itu juga berupa
percobaan melanggar sebagai sarana untuk
membuktikan bahwa kepercayaan –
kepercayaan tersebut tidaklah benar danya
atau hanya mitos yang dilestarikn.
2. Objektivasi: Momen Interaksi Diri Dengan
Dunia Sosio – Kultural
Di dalam objektivasi, realitas sosial seakan
berada diluar diri manusia. Ia menjadi
realitas objektif .karena objektif, maka ad dua
realitas, yaitu realitas diri yang subjektif dan
realitas lainnya yang berada diluar diri yang
objektif. Proses dalam objektivasi itu dapat
diuraikan sebagai berikut :
Pertama, wali dn manusia biasa adalah dua
entitas yang berbeda. Wali – wali adalh sosok
yan g menpunyai kelebihan, karena
kedekatannya kepada Allh.Dai dapat menjadi
wasilah atau perantra yang dapat
menghubungkan antara manusia dengan Allah
untuk dapat menjadi wasilah harus memenuhi
persyratan kedekatan dan kesucian tau
menjadi orng suci.Kedektan bisa diperoleh
karena upaya – upaya individual yng dilakukan
dengan seseorang dalam berhubungan
dengan Allah lewat dhikir atau wirid dan
riyadah yang sistematis dan terstruktur.
Melalui kedekatan akan muncul aura yang
disebut sebagai kesucian.
Kedua, wali memiliki kekuatan supranatural
dan manusia biasa hanya memiliki kekuatan
natural.Agar sampai kepada kesadaran seperti
itu diperlukan penyadaran yang dibarengi
dengan penguatan – penguatan “kelebihan”
melalui dalil – dalil atau nashnash yang
memiliki rujukan sampai kepada Nabi
Muhammad. Mislnya banyak sumur yang di
nisbahkan kepada wali , hakikatnya berasal
dari sunnah sahabat yang memiliki
kecenderungan untuk membikin sumur. Di
tanah arab banyak sumur yang di nisbahkan
kepada para sahabat nabi, bahkan dhurriyah
Nabi Muhammad telah membuat sumur
ditempat Nabi pernah berhenti dalam
perjalanan dakwahnya.
Ketiga, pelembagaan atau institusionalisasi,
yaitu proses untuk membangun kesdaran
menjadi tindakan. Di dalam proses ini, nilai –
nilai yang menjadi pedoman dlam melakukan
interpretasi terhadap tindakan telah menjadi
bagian yang tak terpisahkan sehingga apa
yang disadari adalah apa yang dilakukan.
Mereka yang melakukan upacara tentunya
tidak haya berdasar atas tindakan berpura –
pura tetapi telah menjad tindakan tujuan.
Dalam melakukan awalam dengan
menggunakan wasilah – wasilah para wali,
mereka tau siapa para wali itudan apa yang
akan diperoleh dengan menggunakan wasilah
itu. Jika mereka mengambil air sumur wali
mereka juga mengerti arti pentingnya ir
sumur itu bagi mereka. Jika mereka
melakukan upacara – upacara mereka juga
tau apa arti pentingnya upacara – upacara
tersebut bagi dirinya. Melalui proses
pelembagaan itu, tindakan individu telah
diperhitungkan secara matang dan
konseptual, sehingga tindakannya menjadi
tindakan rasional bertujuan.
Keempat, habitualisasi atau pembiasaan,
yaitu proses dimana tindakan rasional
bertujuan itu telah menjadi bagian dari
kehidupan seari – hari. Seseorang akan
datang ke makam ketika dia merasa bahwa
telah saatnya mereka melakukan ziarah
makam, seseorang akan datang ke mesjid jika
hal itu telah menjadi habitual-actionnya,
seseorang juga datang ke sumur wali
mnakala ia membutuhkan sesuatu darinya,
seseorang yang datan berkali – kali ke ratiban
juga didasari oleh keyakinan adanya
habitualisasi tersebut.
Dari keseluruhan, ada agen yang memainkan
peran sebagai individu atau kelompok individu
untuk proses penyadaran , pelembagaan, dan
habitualisasi. Di dalam kegiatan jam’iyah
tahlil di masing – masing desa, maka didapati
agen – agen yng menyuarakan pentingnya
membangun dan menjaga bangunan –
banguna suci tersebut sebagai lambang atau
simbol islam dan sebagainya. Didalam
berbagai ceramah atau pengajian yang
diselenggarakan NU akan dijumpai kehendak
melestarikan warisan ritual dan budaya itu
sekligus.
3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri
Dalam Dunia Sosio – Kultural
Internalisasi adalah proses individu
melakukan identifikasi diri di dalam dunia
sosio – kulturalnya. Internalisasi adalah
momen penarikan realitas sosial ke dalam diri
atau realitas sosial menjadi kenyataan
subjektif.realitas sosial berada di dalam diri
manusia dan dengan cara itu maka diri
manusia akan teridentifikasi didalam dunia
sosio-kulturnya.
Secara kodrati,maunsia memiliki
kecenderungan untuk mengelompok. Artinya,
manusia akan selalu berada di dalam
kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas
rasa seidentitas,. Sekat interaksi tidak
dijumpai jika manusia berada dalam identitas
yang sama. Itulah sebab terjadi
penggolongan sosial. Misalnya
wongMuhammadiyah dan wong NU, wong
Muhammadiyah dan wong ahli sunnah, orang
tradisional dan modern.
Tabel
Dilektika Eksternalisasi, Objektivikasi, dan
Internalisasi
Momen
Proses
Fenomena
Eksternalisasi
Penyesuaian diri dengan dunia sosio - kultural
Menyesuaikan dengan teks sesuai dengan
interpretasi elit terdahulu, bahwa semua
tindakan uoacara memiliki bass historis,
ajaran dn nilai.
Menyesuaikan dengan bahasa dan tindakan
upacara sebagaimana dicontohkan oleh
ulama salaf yang saleh.
Objektivitas
Interaksi diri dengan dunia sosio – cultural
Penyadaran bahwa wali bukan manusia
biasa , sehingga apapun yang ditinggalkan
(berupa benda2)memiliki kekuatan yang
berbeda dengan manusia biasa, memiliki
kedekatan yang berbeda dengan manusia
biasa, sehingga menjadi perantara hubungan
dengan Allah. Pembiasaan tindakan melalui
pengulangan tradisi dan pelembagaan tradisi
dengan berbagai varian tindakan (pengajian
didalam berbagai ruang budaya)
Internalisasi
Identifikasi diri dengan dunia sosio –cultural
Adanya penggolongan sosial yang berbasis
historis dan teologi-ideologis, sehingga
amalan – amalan antara wong NU dan
Muhammadiyah dan bangan berbeda dan
memunculkan ungkapan seperti
Muhammadiyah tus, dan NU tus.
C. Sakralisasi, Mitologi, Dan Mistifikasi Dalam
Tindakan Orang Jawa Pesisir; Alam Sebagai
Subjek, Objek Dan Subjek-Objek
Masjid, makam, dan sumur adalah lokus
penting dalam prosesi upacara pada
masyarakat pesisir.Ketiganya menjadi tempat
sakral dan penting dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai medan budaya,
ketiganya memiliki keunikan tersendiri, yakni
sebagai temat yang memiliki nuansa atau
aura yang berbeda dengan yang profan atau
duniawi. Proses penyelenggaraan disebut
dengan selametan nerasal dari bahasa
arabsalama yang mengalami desimilasi
menjadi slamet, maknanya adaah
memperoleh keselamatan. Jadi, baik proses
maupun hasil akhir dari angkkaian upacara
adalah memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan.oleh karen itu in order to motive
atau motif tujuan dari rangkaian kegiatan itu
adalah keinginan yang kuat untuk
memperoleh keselamatan sehingga berbagai
upacara dilakukan mulai dari upacara
lingkaran hidup, upacara kalenderikal,
upacara tolak balak, dan upacara hari
penting.selain itu upacara penring yang
dilakukan secara berkelanjutan adalah
upacara di makam dan sumur. Upacara di
makam adalah upacara manganan dan
ataukhaul.,sedangkan upacara di sumur
adalah upacara nyadran atau sedekh bumi.
Penempatan masjid, makam, dan sumur
sebagai tempat sakral adalah pemikiran yang
didasari oeh mitologi.Artinya, bahwa
kesakralan itu “dimitoskan”.Ia menjasi sakral
karena di mitoskan dengan sesuatu yng
sakral. Untuk menjadi sakral harus memenuhi
persyaratan sebagai sesuatu yang sakral,
yaitu: pertama, ia memang sesuatu yang
pantas disakralkan dan kesakralan itu melekat
pada benda itu. Tidak semua makam dan
sumur dianggap sakral karena tidak memiliki
persyaratan sebagai sakral. Bagi sebagian
umat islam, makam dianggap sakral kalau ia
adalah makam orang yang pantas disakralkan,
seperti wali atau penyebar agama islam.
Dalam dunia mitologi, sosok manusia bisa
menjadi manusia lebih, sebongkah benda
juga bisa menjadi sebongkah benda plus.
Manusia atau benda yang dimitoskan itu
kemudian hidup dalam sejarah – sejarah lisan
melalui proses pelembagaan, habitualisasi,
dan legitimasi. Biasanya mellui proses yang
diciptkan oleh kaum elit, terutama dalam
proses kekuasaan. Jadi memitologikan
makam, sumur, dan masjid jug melalui
legitimasi kekuasaan. Misalnya untuk makam
wali , biasanya oleh juru kunci atau abdi
makam, untuk masjid dapat melalui ta’mir
masjid, dan untuk sumur melalui tokoh lokal
yang berkepentingan terhadap pelestarian
tradisi tersebut.
Mistifikasi terjadi jika manusia atau benda
memiliki kekuatan yang diyakini sebgai
kekuatan lebih dibanding manusia atau benda
lain. misalnya terdapat pada manusia yang
memiliki ikelebihan dibidang tertentu yang
sifatnya supranatural, kelebihan itu berada
diluar sifat kemanusiaan lainnya. Mislnya
Sunan Bonang memiliki misteri lebih besar
dibanding dengan Syaikh Ibrahim
Asmaraqandi, padahal Syaikh Ibrahim adalah
kakeknya.
Mistifiksipun memerlukan ruang untuk dapat
bertahan. Salahsatunya melalui proses
pelembagaan cerita – cerita keunggulan yang
dimiliki oleh wali tersebut. Misalnya masjdi
Bonang akan tetap dipertahankan ditengah
keinginan untuk memugarkan masjid tersebut
menjadi baru dan modern. Entah dengan
alasan agar tetap ada keberkahan bagi
pembuat masjid terdhulu, akan tetapi yang
jelas adalah untuk menpertahankan mistifikasi
masjid tersebut.
Pemugaran terhadap makam suci juga akan
mengalami proses mistifikasi. Hampir seluruh
makam wali telah mengalami renovasi, akan
tetapi yang dapat dilihat adalah proses
melestarikan bentuk makam sebagaimana
mestinya. Pemugaran sumur wali juga
mengikuti proses pemugaran tempat atau
bangunan suci lainnya. Jika ada yang diubah
maka hanya asesori.
Pandangan tentang re-mistikasi dan re-
mitologi muncul ketika orang melihat kembali
dunia sepiritualnya yang hilang. Terlalu
menganggap alam adalah semata-mata objek
akan menyebabkan berbagai kurangnya
penghargaan manusia terhadap alam ,
sehingga disana sini akan muncul sikap
merendahkan alam.Dalam konteks dialektika,
kiranya dapat digambarkan sbg:
Hubungan Antar Konsep : Interaksi Antara
Abangan dan NU dengan lokus sakral, alam
sebagai subjek dan berkah
Sakralisasi mistifikasi mitologi
Alam sebagai subjek
Spiritualisasi berkah
Makam sumur masjid
Dari hubungan antar konsep tersebut, dapat
dirumuskan proposinya yaitu “ sakralisasi,
mistifikasi, dan mitologis terhadap makam,
sumur dan masjid terjadi ketika alam di
pandang sebagai subjek sehingga
menimbulkan tindakan spiritualisasi berkah.
Hubungan proposional antara sakralisasi,
mistifikasi dan mitologi terhadap medan
budaya, alam sebagai subjek dan tindakan
magis
Sakralisasi mistifikasi dan mitologi terhadap
medan budaya
Alam dipandang sebagai subjek
Tindakan magis
Hubungan antara konsep : interaksi antara
NU dan muhammadiyah dalam keterkaitannya
dengan lokus sakral dan alam sebagai subjek
Alam sebagai objek
Rasionalisasi materialisasi
Desakralisasi demitologi demistifikasi
Makam sumur masjid
Dari skema diatas dapat dirumuskan
proposinya yaitu desakralisasi, demistifikasi,
dan demitologi terjadi ketika alam dipandang
sebagai objek sehingga menimbulkan
tindakan rasional.
Hubungan proposional antara desakralisasi,
demistifikasi, demitologi terhadap medan
budaya dan alam sebagai objek dan tindakan
rasional.
Desakralisasi demistifikasi dan demitologi
terhadap medan budaya
Tindakan rasional
Alam dipandang sebagai objek
Interaksi Muhammadiyah, NU, dan abangan
dengan alam sebagai subjek objek
Resakralisasi remistifikasi remitologi
Alam sebagai subjek dan objek
Rasionalisasi materialisasi berkah
Makam sumur masjid
Skema ini memberi petunjuk tentang
proposisi yang bisa dirumuskan yaitu
rekrasalisasi, remistifikasi dan remitologi
terjadi ketika alam di pandang sebagai subjek
atau objek sehingga menimbulkan tindakan
rasionalisasi berkah.
Hubungan proposional antara resakralisasi,
remistifikasi, remitologi dengan pandanga
alam sebagai subjek atau objek dan tindakan
rasional-magis
Resakralisasi remistifikasi dan remitologi
terhadap medan budaya
Tindakan rasional-magis
Alam dipandang sebagai subjek atau objek
Dengan memahami komposisi ini kiranya
dapat diketahui bahwa kata kunci orang
mendatangi makam, sumur dan masjid
keramat sebagai medan budaya hakikatnya
adalah untuk memperoleh berkah.
D. Upacara di Sumur, Makam dan masjid :
Makna-Makna Subjektif
Makam, sumur dan masjid dan tindakan-
tindakan sosial di dalamnya dapat
menggambarkan identitas seseorang dalam
sebuah komunitas. penggolongan sosial
seperti abangan, NU, dan Muhammadiyah
pada hakikatnya dapat dilihat dari
keterlibatannya di dalam berbagai upacara di
dalam medan budaya tersebut.
Makna Tindakan berkaitan dengan konteks
aktor dan simbol-simbol (in order to motive
dan because motive)
No
Ruang budaya dan tindakan di dalamnya
Bacause motive
In order to motive
Pragmatic motive
1
Sumur (upacara nyadran, mengambila air dll)
Mengandung kesucian dan kesakralan,
memilikimkekuatan adikodrati, dibuat oleh
orang suci, dijaga mahluk halus
Untuk memperoleh berkah berupa
kesembuhan dari penyakit, peningkatan
kesehatan fisik, kecerdasan dan ketentraman
hidup
Sumur sebagai sarana memenuhi
kepentingan, adaptasi, interaksi, dan
identifikasi diri terkait dengan berbagai
macam upacara yang dianggap penting
2
Makam (upacara khaul, ziarah)
Makam suci, tempat menyimpan jenazah
orang suci, memiliki kekuatan adikodrati dan
menjadi perantara antara manusia dengan
Tuhan
Untuk memperoleh berkah orang suci yang
berupa kelancaran rezeki, kelancaran usaha,
peningkatan kekayaan dan ketentraman hidup
Makam sebagai sarana untuk memenuhi
kepentingan adaptasi, interaksi dan
identifikasi diri terkait dengan upacara yang
dianggap penting dimakam
3
Masjid (ibadah kepada Allah, ratiban,
barjanjenan, pengajian dan upacara lingkaran
hidup )
Masjid adalah tempat suci, sebagai tempat
untuk beribadah kepada Allah, memuji kepada
Nabi, dan tempat untuk sosialisasi agama
islam
Untuk memperoleh pahala ibadah, untuk
memperoleh syafaat Nabi, untuk
menyebarkan agama islam kepada orang lain
dan untuk memeperoleh keselamatan di dunia
dan akhirat
Masjid sebagai sarana untuk memenuhi
kepentingan adaptasi, interaksi dan
idenyifikasi diri terkait dengan upacara yang
di anggap penting di masjid
E. Tempat-Tempat Suci, Upacara-Upacara
dan Penggolongan Sosio-Religius
Didalam medan budaya ini akan
mempertemukan beberapa kelompok berbagai
segmen masyarakat. Masjid merupakan
tempat dimana santri, baik NU dan
Muhammadiyah bisa bertemu meskipun
kadang terjadi perbedaan dan mendirikan
masjid sendiri-sendiri. Selain itu sumur akan
mempertemukan golongan abangan dan
orang NU meskipun memiliki kmotif yang
berbeda. Selain itu NU juga akan bertemu
lagi dengan golongan abangan saat upacara
manganan dimakam. Berbeda dengan
kelompok Muhammadiyah yang hampir tidak
memeiliki medan budaya yang sama dengan
kelompok abangan. Antara kelompok NU dan
abngan terdapat kedekatan dalam wujud
kesaman medan budaya, sehingga
memudahkan menarik orang abangan ke
dalam NU dari pada menarik orang abangan
kedalam Muhammadiyah.
Dengan bertemunya antara abangan dan NU,
maka terjadi perubahan-perubahan
didalamnya. Dari tradisi nyadran berubah
menjadi kegiatan pengajian atau tahlilan atau
yasinan. Tradisi manganan kubur berubah
menjadi tahlilan dan yasinan. Pertemuan
medan budaya ini menjadi momen penting
bagi proses akulturasi budaya dikalangan
abangan dan santri yang pada gilirannya
terjadilah proses santrinisasai abangan.
F. Perubahan Budaya : Dari Tradisi Lokal ke
Tradisi Islam Lokal
Di dalam tradisi terdapat 2 hal yang sangat
penting, yaitu pewarisan dan konstruksi.
Pewarisan menunjuk kepada proses
penyebaran tradisi dari masa ke masa,
sedangkan konstruksi menunjuk kepada
proses pembentukan atau penanaman tradisi
kepada orang lain.
Perubahan budaya terjadi pada aspek
kognifif, tata upacara komunal dan juga
perubahan pada level tindakan atau perfoman
perilakunya. Berikut ini adalah perubahan-
perubahan ritual keagamaan yang dimaksud :
no
Masa lalu
Masa sekarang
Medan budaya
1
Slametan, kendurenan
Tasyakuran
Masjid, rumah
2
Manganan kuburan
Khaul
Makam
3
Nyadran
Sedekah bumi
Sumur
4
Bancaan sepasaran
Aqiqahan
Rumah
5
Nyadran laut, tutup playangan
Sedekah laut
Pesisir
KESIMPULAN
Budaya Jawa yang ada saat ini adalah
warisan nenek moyang dari zaman dahulu
yang terus turun temurun hingga sekarang.
Tradisi ini sebagian karena pengaruh Hindu
Budha, karena kita ketahui bahwa Hindu
Budha serta kepercayaan animisme
dinamisme masuk ke Indonesia terlebih
dahulu sebelum agama Islam. Sehingga
Agama Islam yang sekarang adalah campuran
dengan kepercayaan Hindu Budha (Islam
kejawen) tetapi tidak semuanya, karena Islam
itu sendiri di Indonesia terdiri dari banyak
aliran Agama Islam. Sehingga hal ini
menyebabkan adanya Agami Jawi dan Agami
Islam Santri. Namun beberapa tradisi saat ini
mulai ditinggalkan karena pengaruh
perkembangan zaman dan modernisasi.
Agama Islam di Pulau Jawa sebagian besar
disebarkan oleh para wali yaitu ada sembilan
orang wali yang biasa kita sebut wali sanga.
Banyak perbedaan antara Agami Jawi dan
Agami Islam Santri, mulai dari sistem
keyakinan hingga sistem upacara. Selain itu
orang jawa juga percaya dengan gerakan
mistik dan gerakan kebatinan, serta ilmu
gaib, ilmu sihir, dan ilmu petangan. Jadi
apabila ada sesuatu hal terjadi di bumi, baik
itu fenomena alam, orang jawa banyak
mengkaitkannya dengan hal-hal tersebut di
atas, bukan secara logis atau nalar. Ini
membuktikan bahwa tradisi yang ada di jawa
masih cukup kental, terutama pada
masyarakat pedesaan. Tetapi walaupun
terjadi perbedaan dalam hal keyakinan pada
masyarakat, hal ini jangan sampai dijadikan
sebagai pemecah belah, seharusnya dengan
adanya berbagai perbedaan membuat kita
dapat saling menghargai dan menghormati
antar sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara Suwardi. 2005. Budaya Jawa.
Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka.
M.H.As’ad El Hafidy. 1982. Aliran-Aliran
Kepercayaan dan Kebatinan Di Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syam Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta.

Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

Statistik Blog

 
Support : dzulAceh | DownloadRPP | BerintaNanggroe
Copyright © 2015. IPNU IPPNU PASURUHAN LOR - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Modified by dzulAceh
Proudly powered by Blogger