Selamat Datang di Portal Pendidikan

Sunan Kudus, Masjid Menara, Sampai Larangan Sembelih Sapi

Kudus - Dari sekian masjid bersejarah di
Indonesia, Masjid Menara Kudus (Jawa
Tengah) punya keunikan tersendiri. Sebuah
menara mirip candi berdiri anggun di sebelah
kiri depan masjid. Banyak masyarakat awam,
bahkan para arkeolog yang bertanya-tanya,
bagaimana elemen masjid mengadopsi model
bangunan tempat ibadah umat Hindu dan
Buddha.
Tidak hanya menara, bangunan-bangunan di
sekeliling masjid juga banyak yang mirip
dengan bangunan candi. Gapura di depan
masjid yang tersusun dari batu bata tanpa
semen tidak lain merupakan ciri khas candi di
Jawa Timur. Ada juga pancuran untuk wudhu
yang berjumlah delapan. Di atas pancuran itu
diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran,
konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni
'Delapan Jalan Kebenaran' atau Asta Sanghika
Marga.
Menara menjadi elemen masjid yang paling
menonjol. Sehingga, masjid yang semula
bernama Masjid Al-Aqsa itu kemudian
terkenal dengan Masjid Menara Kudus.
Percampuran yang begitu mencolok antara
ciri-ciri kebudayaan Hindu-Buddha dengan
Islam memunculkan banyak cerita seputar
awal mula berdirinya masjid. Ada cerita yang
bersumber dari sejarah, namun tak sedikit
pula yang bernuansa mitos.
Cerita tersebut, baik sejarah maupun mitos
itu, sejatinya ingin menjelaskan bagaimana
sang pendiri masjid, Sunan Kudus, melakukan
dakwah Islam secara bijaksana (hikmah).
Hasil dakwahnya sangat luar biasa. Penduduk
setempat yang dahulunya pemeluk taat
ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk
ajaran tauhid (Islam). Kunci sukses Sunan
Kudus terletak pada kemampuannya
melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah
masyarakat yang sudah punya budaya mapan.
Sunan Kudus dikenal sebagai seorang ahli
agama, terutama dalam disiplin ilmu tauhid,
hadis, dan fikih. Dari sembilan wali yang
diakui di Tanah Jawa, hanya beliau yang
bergelar 'Waliyyul Ilmi' (wali yang
berpengetahuan luas).
Konon, Sunan Kudus sangat menghormati
tradisi keagamaan yang berlaku di
masyarakat Loaram--nama lama Kota Kudus.
Ada sebuah tradisi keagamaan yang begitu
mengakar kuat, yaitu larangan menyembelih
sapi. Bagi masyarakat Hindu, menyembelih
sapi adalah tindakan terlarang, tidak boleh
secara agama. Untuk menghormati tradisi
agama yang sudah berlaku itu, Sunan Kudus
pun melarang pengikutnya menyembelih
sapi.
Suatu ketika Sunan Kudus mengikat sapi di
pekarangan masjid. Setelah umat Hindu
datang ke pekarangan itu, Sunan Kudus
menyampaikan nasihat keagamaan. Model
dakwah sang Sunan yang demikian itu sangat
menggugah kesadaran keagamaan banyak
orang. Mereka pun berbondong-bondong
beralih keyakinan menjadi Muslim. Sampai
kini, larangan menyembelih sapi di Kudus
secara adat masih berlaku.
Kenang-kenangan dari Yerusalem
Islamisasi masyarakat Kudus diwarnai dengan
pencampuran warisan budaya Hindu-Buddha
dengan nilai-nilai Islam. Di samping
melestarikan tradisi-tradisi, Sunan Kudus
juga memelihara simbol-simbol budaya lama.
Tujuannya agar nilai-nilai Islam dapat
diterima masyarakat tanpa menimbulkan
gejolak sosial.
Warisan budaya benda yang paling penting
dalam tradisi Hindu-Buddha adalah candi.
Contoh terbaik percampuran budaya lokal
dengan nilai-nilai Islam dapat dilihat dari
menara masjid.
Di balik bangunan berbentuk candi itu,
terpendam sebuah kisah pendirian masjid
yang hingga saat ini dipercaya kebenarannya
oleh masyarakat luas. Masjid dan namanya,
Masjid Al-Aqsa, berkaitan erat dengan kota
para nabi di Timur Tengah, yaitu Bait Al-
Maqdis, atau Al-Quds di Yerusalem.
Suatu ketika Syekh Ja'far Shadiq (Sunan
Kudus) berada di Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Wabah penyakit kudis tiba-tiba
merajalela di tanah suci itu. Segala upaya
pencegahan telah dilakukan, namun tidak ada
hasilnya. Akhirnya, Amir (penguasa) Makkah
meminta Syekh Ja'far Shadiq turun tangan
mencegah wabah penyakit yang kian hari
kian mengganas.
Singkat cerita, Syekh Ja'far Shadiq berhasil
menghentikan merebaknya penyakit kudis itu.
Amir Makkah kemudian bermaksud
memberinya hadiah, namun beliau menolak.
Beliau hanya meminta jika berada di
Palestina agar diizinkan mengambil sebuah
batu dari Bait Al-Maqdis. Amir Makkah pun
mengizinkan. Ketika pulang ke Jawa, Syekh
Ja'far Shadiq membawa batu itu dan dijadikan
batu pertama dalam pembangunan masjid
yang diberi nama Masjid Al-Aqsa.
Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus
didirikan pada 956 H atau 1549 M. Hal itu
dapat diketahui dari inskripsi di atas mihrab
masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
Sayangnya, tulisan pada inskripsi itu sudah
sulit dibaca karena banyak huruf yang rusak.
Konon, batu inskripsi itulah yang dibawa oleh
Sunan Kudus dari Yerusalem. Lebarnya 30
sentimeter dan panjangnya 46 sentimeter.
Pada awal pembangunannya, tinggi Masjid
Menara Kudus hanya 13,25 meter. Setelah
direnovasi, tingginya menjadi 17,45 meter.
Kemudian pada 1925 M, di bagian depan
ditambah bangunan baru berupa serambi.
Penambahan ruang masjid terus dilakukan
seiring dengan bertambah banyaknya jumlah
jamaah.
Pada 5 November 1933 M, sebuah serambi
dibangun kembali di depan serambi
sebelumnya. Dengan demikian, Kori Agung
atau Lawang Kembar (pembatas ruang yang
terbuat dari kayu ukir) yang dahulu berada di
serambi kini di dalamnya. Di atas serambi
yang baru itu terdapat kubah besar bergaya
arsitektur India.
Di sekelilingnya dihiasi tulisan kaligrafi Arab
yang memuat nama-nama sahabat Nabi SAW,
seperti para Khulafaurrasyidin, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan
Abdurrahman bin 'Auf. Termaktub juga nama-
nama empat ulama mazhab ternama, yaitu
Imam Hanafi, Hambali, Syafi'i, dan Malik.
Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus ini
terletak di Desa Kauman, Kabupaten Kudus,
Provinsi Jawa Tengah. Letak Masjid Menara
Kudus ini cukup dekat dengan pusat Kota
Kudus (alun-alun kota), yaitu berjarak sekitar
1,5 kilometer ke arah barat. rid/berbagai
sumber
Keunikan Menara Kudus
Denys Lombard pernah menulis bahwa Kota
Kudus mengambil nama dari Al-Quds, nama
lain dari Yerusalem yang artinya kota suci. Di
kota inilah Masjid Menara Kudus berdiri.
Keberadaannya melambangkan secara visual
peralihan kepercayaan masyarakat dari
Hindu-Buddha ke Islam.
Kalau dicermati secara saksama, bentuk
menara masjid sangat mirip dengan candi.
Banyak pengamat memberikan komentar
seputar bentuk menara yang unik itu. Ada
yang mengatakan bentuknya mirip dengan
candi-candi di Jawa Timur pada masa
Majapahit dengan penambahan beberapa
bagian sesuai dengan fungsinya.
Ada pula yang berpendapat, beberapa gapura
di sekitar menara yang bentuknya mirip
bangunan kulkul di Bali, mengindikasikan
menara itu tidak hanya dipengaruhi candi-
candi di Jawa Timur. Di dalam kulkul terdapat
kentungan yang dipukul untuk menyampaikan
informasi kepada penduduk sekitar.
Hal yang sama juga terdapat di Menara
Kudus. Di bagian atas menara ini, diletakkan
bedug dan kentungan yang dipukul sebagai
tanda datangnya waktu-waktu tertentu.
Pendapat yang kedua ini menegaskan bahwa
Menara Kudus terpengaruh oleh arsitektur
Hindu Bali.
Ada elemen lain yang membuat bangunan
berbentuk candi itu bertambah unik, yaitu
bagian kepala menara yang berbentuk atap
tumpang atau tajuk dari kayu jati dengan
empat saka guru yang menopangnya. Itu
adalah atap khas rumah Jawa-Hindu yang
setelah diadaptasi oleh ajaran Islam
mengandung makna iman, Islam, dan ihsan.
rid
Sunan Kudus dan Sang Guru dari Negeri
Cina
Menceritakan sejarah berdirinya Kota Kudus,
rasanya tak lengkap tanpa menyebut nama
seorang tokoh legendaris asal Cina yang
bernama The Ling Sing. Orang Jawa biasanya
menyebutnya Kiai Telingsing. Tokoh ini tidak
lain adalah guru Sunan Kudus. Makamnya
terletak di dekat Masjid Kyai Telingsing di
Kampung Sunggingan, Kudus.
Sayangnya, tidak ada sumber sejarah yang
memadai tentang tokoh ini, kecuali beberapa
lembar catatan tentangnya yang disimpan
oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
(PITI). Menurut cerita yang berkembang di
masyarakat, Kiai Telingsing adalah tukang
kayu keturunan Tionghoa. Beliau turut
menyebarkan agama Islam di Kudus bersama
Sunan Kudus.
Ada cerita menarik tentang kisah hidup Kiai
Telingsing dengan Sunan Kudus yang ditulis
di atas selembar kertas bertanggal 5 Februari
1974 dan beralamat di Sunggingan 156,
Kudus. Alkisah, pada suatu hari The Ling Sing
muda sedang bermain layang-layang. Tiba-
tiba ia berhasrat pergi ke Nusantara. Maka,
ia memanjat benang layang-layangnya itu.
Ketika The Ling Sing sudah dewasa, ayahnya
berkata kepadanya, ''Kalau engkau ingin
menjadi orang baik di dunia dan akhirat,
engkau harus pergi ke Nusantara, karena saya
pernah hidup di sana.'' Maka, berangkatlah
The Ling Sing ke Nusantara dan tiba di
Kudus. Kemudian, ia melakukan dakwah
Islam.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada
1478 M, Raden Patah mengambil alih
kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Demak.
Pada suatu hari, semua wali bermusyawarah
dan memutuskan mengangkat Ja'far Shadiq
sebagai Sunan Kudus. Sejak saat itu, sang
Sunan berdakwah di Kudus dan bertemu
dengan The Ling Sing (Kiai Telingsing) yang
telah lebih dulu berdakwah di daerah itu.
Dengan strategi yang baik, akhirnya mereka
berdua berhasil mengislamkan seluruh
penduduk Kudus. Berita tentang keberhasilan
mereka didengar oleh semua wali, yang
kemudian segera datang ke Kudus dan
memutuskan Sunan Kudus sebagai wakil
resmi Kesultanan Demak di Kudus.
Pada suatu hari, ketika Sunan Kudus
menjamu tamu-tamunya dari Tiongkok, beliau
meminta Kiai Telingsing membuatkan hadiah
yang pantas. Dia lalu membuat kendi yang
hiasannya terletak di bagian dalam. Ketika
Sunan Kudus melihat kendi yang tampak tidak
istimewa, beliau marah dan membanting
kendi itu ke tanah.
Kendi itu pun terbelah. Setelah Sunan Kudus
melihat hiasan kaligrafi indah dalam kendi
yang sudah pecah itu, barulah beliau
menyadari kepandaian Kiai Telingsing. Sunan
Kudus pun sadar, meskipun beliau punya
pengetahuan agama yang tinggi, namun Kiai
Telingsing tetap menjadi gurunya dalam hal
kewalian.
(tim adangdaradjatun.com/rid/taq/republika)

Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

Statistik Blog

 
Support : dzulAceh | DownloadRPP | BerintaNanggroe
Copyright © 2015. IPNU IPPNU PASURUHAN LOR - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Modified by dzulAceh
Proudly powered by Blogger