Selamat Datang di Portal Pendidikan

Sejarah Bedug

Abdul Azis alias Imam Samudra, pelaku
Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang
sudah dieksekusi mati, pernah merusak
bedug masjid di desanya, Kampung
Lopang Gede, Serang, Banten. Dia
melakukannya karena menganggap
bedug adalah peninggalan Hindu.
Imam Samudra tak terlalu salah karena
tak menganggap bedug sebagai
peninggalan Islam tapi dia kurang tepat
menyebutkannya sebagai peninggalan
Hindu. Menurut arkeolog Universitas
Negeri Malang Dwi Cahyono, akar
sejarah bedug sudah dimulai sejak masa
prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat
itu manusia mengenal nekara dan moko
yang terbuat dari perunggu, berbentuk
seperti dandang dan banyak ditemukan
di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti,
Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei.
Fungsinya untuk acara keagamaan,
maskawin, dan upacara minta hujan.
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih
terbatas dan penyebarannya belum
merata ke berbagai tempat di Jawa.
Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX,
disebutkan bahwa bedug berfungsi
sebagai media untuk mengumpulkan
penduduk dari berbagai desa dalam
rangka persiapan perang. Kitab sastra
berbentuk kidung, seperti Kidung Malat,
ditulis pada masa pemerintahan
Majapahit.
Saat itu nama “bedug” belum biasa
digunakan. Istilah lainnya adalah “teg-
teg”, kelompok membraphone
menyerupai bedug. Fungsinya sebagai
pemberi tanda, atau petanda bunyi
(time signal). “Karena Kidung Malat
menyebut bedug dan teg-teg, maka
keduanya tentu berlainan. Teg-teg
sejenis genderang dengan ukuran lebih
besar daripada bedug,” tulis Dwi
Cahyono dalam “Waditra Bedug dalam
Tradisi Jawa (1),” yang dimuat Kompas,
24 September 2008.
Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis
de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste
Boek –sebuah catatan pelayaran
Belanda yang pertama ke Nusantara–
mencatat keberadaan bedug, bonang,
gender, dan gong. Houtman menulis
bahwa bedug populer dan tersebar luas
di Banten. Di setiap perempatan jalan
terdapat sebuah genderang yang
digantung dan dibunyikan dengan
tongkat pemukul yang tergantung di
sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda
mengenai adanya bahaya, atau
merupakan tanda waktu yang
dibunyikan pada pagi hari, tengah hari,
atau tengah malam,” tulis Dwi.
Orang China juga punya andil. Seorang
China-Muslim Cheng Ho dan bala
pasukannnya pernah datang sebagai
utusan dari maharaja Ming. Dialah yang
mempertunjukkan bedug di Jawa ketika
memberi tanda baris-berbaris ke tentara
yang mengiringinya. Konon, ketika
Cheng Ho hendak pergi dan memberikan
hadiah, raja dari Semarang mengatakan
bahwa dirinya hanya ingin
mendengarkan suara bedug dari masjid.
Sejak itulah bedug menjadi bagian dari
masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil
di China, Korea dan Jepang, sebagai alat
komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug kemudian dikaitkan
dengan Islamisasi yang mulai intensif
dilakukan Walisanga sekitar abad
ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-
masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam
melaksanakan salat lima waktu. Ini
karena, seperti ditulis Kees van Dijk,
“Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter
J.M. Nas dan Martien de Vletter, Masa
Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di
Indonesia, sebelum abad ke-20 masjid-
masjid di Asia Tenggara tak memiliki
menara untuk mengumandangkan azan.
Sebagai gantinya, masjid-masjid
dilengkapi sebuah genderang besar
(bedug), yang dipukul sebelum azan
dikumandangkan.
Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di
beranda atau di lantai atas. Ada juga
yang diberi rumah kecil, terpisah dari
masjid. Jika masjid memiliki gerbang
besar, bedug sering diletakkan di
atasnya. “Suara bedug, pada waktu
belum ada pengeras suara, lebih nyaring
daripada suara manusia, dan menjadi
alat komunikasi yang penting untuk
menandai dan merayakan momen-
momen keagamaan,” tulis Dijk.
Masjid juga sering memiliki alat
komunikasi lain sebagai teman bedug:
kentongan, kohkol, kerentung, atau
ketuk-ketuk, yakni semacam tetabuhan
yang terbuat dari batang kayu. Alat ini,
bersama bedug, digunakan untuk
memperingatkan orang-orang sebelum
azan berkumandang.
Memukul bedug, lanjut Dijk, sepertinya
merupakan tradisi lama. Pada 1659,
ketika Wouter Schouten, seorang dokter
kapal Belanda mengunjungi Ternate, dia
mencatat penggunaan bedug untuk
memanggil orang-orang datang ke
masjid. Dua tahun kemudian, ketika
berada di Banten, dia melihat sebuah
bedug dengan tinggi dan lebar delapan
kaki di samping menara masjid.
Suaranya terdengar bermil-mil sampai
ke pegunungan.
Selain untuk memberi tahu warga desa
atau kampung bahwa waktu salat sudah
tiba, “… pukulan bedug juga menandai
awal dan akhir puasa serta hari raya
haji... kebiasaan itu umum berlaku di
seluruh pelosok Nusantara,” tulis Denys
Lombard dalam Nusa Jawa: Silang
Budaya 2.
Belakangan, tak semua umat Muslim di
Indonesia menerima kehadiran bedug di
masjid-masjid. Ia akrab dengan warga
Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi
kelompok musim Persatuan Islam
(Persis) dan Muhammadiyah yang
menganggap bedug bid’ah. Penggunaan
bedug tampaknya sempat menjadi
perdebatan hangat di kalangan Islam
tradisional dan modernis. NU sendiri,
pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin
Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali
mengukuhkan penggunaan bedug dan
kentongan di masjid-masjid karena
diperlukan untuk syiar Islam.
Perdebatan itu, selain soal-soal lainnya,
masih mengemuka pada 1950-an dan
1960-an.
Ada upaya untuk menjembatani
perbedaan yang berkaitan dengan hal
semacam itu tapi tidak sepenuhnya
berhasil. Sampai-sampai cendekiawan
Nurcholish Madjid, yang pada 1970-an
melontarkan desakralisasi, akhirnya
berkesimpulan bahwa umat Muslim
bukan hanya menyucikan bedug tapi
sudah sampai menyucikan organisasi
atau partai; partai mereka yang paling
benar, paling suci.
Mirisnya, pertentangan itu masih
bertahan hingga bertahun-tahun
kemudian. Gara-gara bedug, pada 1987,
warga Kampung Gunung Kembang di
Tasikmalaya bersitegang. Seperti ditulis
Sofyan Samandawai dalam Mikung:
Bertahan dalam Himpitan, warga Persis
menyerang praktik penggunaan bedug
di masjid-masjid NU. Sebaliknya warga
NU menyerang ijtihad yang dilakukan
Persis. Konflik itu berlanjut hingga 1988,
yang kemudian diselesaikan dengan
pembagian wilayah Kampung Gunung
Kembang secara administratif.
Perdebatan mengenai bedug mulai
mereda sekarang. Peran bedug sudah
tergantikan dengan pengeras suara. Tapi
ada sejumlah masjid yang tetap
menabuhkan bedug dan kentongan
sebagai pembuka azan. Ia juga dianggap
sebagai praktik budaya dan seni, yang
ditabuhkan untuk menyambut bulan
Ramadan dan Idulfitri.
Sumber : Historia

Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

Statistik Blog

 
Support : dzulAceh | DownloadRPP | BerintaNanggroe
Copyright © 2015. IPNU IPPNU PASURUHAN LOR - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Modified by dzulAceh
Proudly powered by Blogger