Dari mana kata "mudik" bermula.
Bagaimana asal-usulnya? Sesekali,
menarik juga memahami sebuah kata
yang akhirnya menjadi budaya di negeri
ini. Boleh jadi, satu-satunya tradisi unik
yang dilakukan hampir seluruh orang
dalam satu negara, sekaligus sebagai
fenomena mengagumkan di mata dunia.
ramadhan.republika.co.id
Setiap ahli punya opini sendiri tentang
makna kata "mudik". Kita akan lihat
bersama beberapa pandangan tersebut.
Mudik dari Betawi?
Dalam pergaulan masyarakat Betawi
terdapat kata "mudik" yang berlawanan
dengan kata "milir". Bila mudik berarti
pulang, maka milir berarti pergi.
Kata "milir" merupakan turunan dari
"belilir" yang berarti: pergi ke Utara.
Dulu, tempat usaha banyak berada di
wilayah Utara - lihat sejarah Batavia dan
Sunda Kelapa. Karena itulah kata
"mudik" bermakna: Selatan.
Pekerja Betawi pulang ke rumah atau
mudik / my.opera.com
Sehubungan dengan kata ini, pendapat
lain mengungkapkan bahwa kaum urban
di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad
pertengahan. Orang-orang dari luar
Jawa mencari nafkah ke tempat ini,
menetap dan pulang kembali ke
kampungnya saat hari raya Idul Fitri
tiba. Karena itulah, kata "mudik" dalam
istilah Betawi juga mengartikan "menuju
udik" (pulang kampung).
Mudik, budaya Agraris?
Ada pula pendapat mengatakan mudik
merupakan tradisi primordial
masyarakat petani Jawa. Mereka sudah
mengenal tradisi ini bahkan jauh
sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.
Biasanya tujuan pulang kampung untuk
membersihkan pekuburan dan doa
bersama kepada dewa-dewa di
kahyangan untuk memohon
keselamatan kampung halamannya yang
rutin dilakukan sekali dalam setahun.
Tradisi 'nyekar' masih terlihat hingga
kini. Kebiasaan membersihkan dan
berdoa bersama di pekuburan sanak
keluarga sewaktu pulang kampung
masih banyak ditemukan di daerah
Jawa.
Mudik ada sejak nenek moyang?
Bagaimana dengan pernyataan bahwa
mudik telah ada sejak zaman nenek
moyang? Beberapa ahli mengaitkan
tradisi mudik ada, karena masyarakat
Indonesia merupakan keturunan
Melanesia yang berasal dari Yunan, Cina.
Sebuah kaum yang dikenal sebagai
pengembara. Mereka menyebar ke
berbagai tempat untuk mencari sumber
penghidupan.
Pada bulan-bulan yang dianggap baik,
mereka akan mengunjungi keluarga di
daerah asal. Biasanya mereka pulang
untuk melakukan ritual kepercayaan
atau keagamaan. Pada masa kerajaan
Majapahit, kegiatan mudik menjadi
tradisi yang dilakukan oleh keluarga
kerajaan. Sejak masuknya Islam, mudik
dilakukan menjelang Lebaran.
Mudik dalam kajian bahasa Arab
Untuk menguatkan akar mudik berkaitan
dengan tradisi islami, beredar pula
argumen makna mudik dalam kajian ala
timur-tengah.
Kata "mudik" seperti istilah arab untuk
"badui" sebagai lawan kata "hadhory".
Sehingga dengan sederhana bisa diambil
kesimpulan bahwa mudik, adalah
kembali ke kampung halaman.
reski-ramadan.blogspot.com
Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang
berarti “ yang memberikan cahaya
atau menerangi”
Ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa
mereka para pemudik itu secara khusus
memberikan ‘cahaya’ atau menerangi
kampung-kampung halaman mereka.
Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”,
yang berarti “ yang menghilangkan “
Selanjutnya, mudik berasal dari bahasa
arab yang berarti : orang yang
menghilangkan. Hal ini juga akan mudah
kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu
adalah orang-orang perantauan yang
dipenuhi beban perasaan kerinduan,
dan kesedihan karena jauh dari
orangtua, keluarga atau kampung
halamannya. Karenanya mereka
melakukan aktifitas mudik , dalam
rangka ‘menghilangkan’ semua kesedihan
tersebut.
Mudik dari akar kata “ adzaa-qo”
yang berarti “ yang merasakan atau
mencicipi “
Orang yang mudik ke kampung halaman
pastilah mereka yang ingin kembali
‘merasakan dan mencicipi’ suasana
kampung tempat kelahiran.
-----------------------------
Nah, sekarang saya akan menyarikan
apa yang pernah ditulis oleh
budayawan, sastrawan, guru besar
Jakob Sumardjo. Buat kamu yang belum
mengenalnya dan ingin berkenalan
dengan tulisannya, coba dulu baca yang
paling populer "Olenka". Ia juga
populer sebagai kolumnis yang kerap
dimuat di koran-koran nasional.
Kata "mudik" mengartikan
"hulu".
Pada zaman pramodern hanya dikenal
komunikasi sosial lewat sungai. Hampir
semua hunian tua di Indonesia selalu
berada di tepi sungai. Karena sungai
merupakan sarana komunikasi dan
transportasi yang vital, maka dikenal
adanya istilah arah hulu dan hilir, mudik
dan muara.
Pada waktu itu, kalau orang mengatakan
mau mudik, jelas artinya mau pergi ke
hulu. Dan kalau mau ke hilir, berarti
mau ke arah muara. Orang yang menuju
ke hulu dapat berarti “naik”, “munggah”,
“pulang”, “ke hutan”, “ke kebun”, “ke
bukit”, “ke kampung”. Sedangkan orang
yang menuju ke hilir dapat berarti pergi,
“keluar”, “ke pasar”, “merantau”, “kerja”.
Transportasi air di Sungai Brantas, Jawa
Timur / cabiklunik.blogspot.com
Dengan demikian arah hulu lebih
bermakna “perempuan” dan hilir
bermakna “lelaki”. Perempuan adalah
hulu adalah rumah adalah kampung
halaman. Lelaki adalah hilir adalah luar
adalah asing, atau rantau.
Dengan pola pikir yang demikian itu,
munggah dan mudik maknanya sama,
yakni kembali ke ibu, ke kampung
halaman, ke nenek moyang, ke asal
adanya, ya kembali ke fitrahnya.
Begitulah kesadaran kolektif bangsa ini
sejak zaman dahulu kala, yakni tidak
pernah melupakan jati dirinya, asal
usulnya, nenek moyangnya, kampung
halaman tempat ia dilahirkan. Manusia
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa,
dalam hubungan munggah dan mudik
ini, selalu ingat asal usulnya, indungnya,
sangkan paran atau asal dan tujuan
hidup ini.
Mengapa identik dengan Lebaran?
Di zaman purba Indonesia ada upacara
setiap tahun yang bermakna manunggal
dengan nenek moyang sebuah
komunitas. Sisa-sisa upacara demikian
masih lestari dalam bentuk bersih desa,
ngalaksa, seren taun, ngarot dan banyak
lagi.
Dalam upacara-upacara semacam itu
dilakukan penyatuan manusia sebagai
mikrokosmos dengan alam sebagai
makrokosmos dan arwah nenek moyang
berupa mitos-mitos sebagai
metakosmos.
Rangkaian upacaranya mulai dari mandi
bersama (bersih badan), pantang dan
puasa, ziarah kubur, seni pertunjukan
yang mementaskan kisah mitologi nenek
moyang pendiri wilayah, dan akhirnya
makan bersama atau kenduri.
Tempatnya bisa di tanah lapang, di balai
desa, di leuwi, di mata air, di kuburan
desa.
Bersih desa / gunklaten.blogspot.com
Dalam upacara-upacara tahunan
semacam itulah seluruh penduduk
kampung kumpul bersama, tua atau
muda atau kanak-kanak.
Upacara menyatukan diri seluruh
penduduk kampung dengan
makrokosmos dan metakosmos ini,
dapat bermakna sangkan-paran atau
kembali menyatu dengan yang asal.
Mereka sedang munggah atau mudik.
Kembali ke indung asal kehidupan ini.
Kembali ke Sang Pencipta dengan
seluruh warga yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal.
Ketika agama Islam dipeluk oleh bangsa
Indonesia, maka sisa-sisa ritual
primordial ini tidak dilenyapkan karena
sudah merupakan bagian dari arketip
budayanya. Kalau tidak melakukan,
mereka merasa ada yang hilang dari
bagian dirinya sebagai kelompok.
Padanan untuk itu adalah bulan puasa
bagi umat Islam, atau puncaknya pada
hari Lebaran. Tradisi manusia Indonesia
untuk nyekar atau menebar bunga di
kuburan nenek moyang, mandi bersama
di pantai atau di sungai desa, mengirim
makanan bagi sanak saudara, yang
semua itu dilakukan sebelum bulan
puasa, adalah inkulturisasi Islam
terhadap budaya sebelumnya.
Diolah dari berbagai sumber -
apakabardunia.com
Posting Komentar